Lihat ke Halaman Asli

Hendra Fokker

TERVERIFIKASI

Pegiat Sosial

Analisis Bangkitnya Aristokrasi Politik

Diperbarui: 16 Agustus 2023   04:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi aristokrasi (sumber: britannica.com via kompas.com)

Kebangkitan "merangkak" sistem aristokrasi dalam realitas politik kontemporer menjadi tajuk yang secara analisis dapat mengemuka sejak gugatan perihal batasan usia sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden diajukan ke Mahkamah Konstitusi.

Tak lain karena dianggap sebagai upaya meramaikan konstelasi pra pemilu 2024 mendatang. Khususnya perihal siapapun capres atau cawapres yang hendak diusung secara politis. Dimana beberapa partai menguraikannya sebagai bagian dari hak demokrasi.

Demokrasi yang sejatinya dapat memberi ruang terbuka bagi siapapun juga pada tiap gelaran pemilu. Namun, apakah hal itu berlaku bagi setiap warga negara yang memiliki hak-haknya dalam memilih dan dipilih sebagai wakil rakyat?

Kiranya realitas politik saat ini masih belum mencapai proyeksi demokrasi yang konsisten positif. Berangkat dari berbagai faktor yang menjadi jembatan hadirnya kelompok-kelompok penguasa kebijakan. Baik dalam skala legal pemerintahan atau skala ormas.

Semua dapat dikatakan berperan dalam lahirnya budaya aristokrasi modern. Dimana kelas sosial yang tertinggi berperan penting dalam mengatur segala kebijakan berbasis kuasa. Kelas sosial inilah yang kemudian dianggap berwenang dalam mengatur sistem.

Tentunya sistem pemerintahan, dengan orientasi kapitalistik sesuai dengan konsep pragmatisnya secara politik. Bahkan bermunculan pula aristokrat-aristokrat minor yang memegang kendali sosial dengan mekanisme relasi kuasa.

Dalam area yang kerap bersinggungan secara langsung di ruang sosial masyarakat. Kategori memiliki privilege tinggi, sudah tentu punya kendali atas apapun dibawahnya. Tak terkecuali bagi masyarakat kecil, yang dikemukakan oleh Marx sebagai kelas proletar.

Jadi bukan hanya dalam area mayor dalam sistem pemerintahan yang luas. Pun demikian secara minor dalam locus sosial yang kerap memantik area konflik antar kelas. Teori konflik sosial ala Marx kiranya masih relevan dalam menguraikan realitas ini.

Secara mudah, dapat diuraikan sebagai pemerintahan diatur oleh sekelompok kaum bangsawan. Secara kelompok dan mekanis, serta berseberangan dengan upaya pemenuhan hak bagi kaum proletar. Walau secara kultur aristokrasi identik dengan budaya Indonesia.

Seperti ungkap Selo Soemardjan dalam Perubahan Sosial (2009), dimana status Raja dan bangsawan berada dalam posisi sentral. Namun unsur budaya dan kultur mengikatnya dalam fungsi yang positif dengan rakyatnya. Yakni saling melengkapi dan lebih adaptif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline