Lihat ke Halaman Asli

Hendra Fokker

TERVERIFIKASI

Pegiat Sosial

Kecamuk Revolusi Sosial Akibat Politik Kebangsaan

Diperbarui: 2 Agustus 2023   05:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi revolusi sosial (sumber: dokpri/edited by canva)

Sejarah Indonesia mencatat, berbagai peristiwa (konflik sosial) telah terjadi sebagai akibat dari pertikaian politik. Kecamuk revolusi, faktanya membuka keran hadirnya berbagai ideologi yang berkenaan dengan politik kebangsaan. Dimana hal itu adalah cikal bakal terjadinya konflik antar kelompok/golongan.

Tak luput dari kelompok nasionalis, agama, atau bahkan sosialis/komunis. Masing-masing ideologi memang berperan dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Transformasi yang kemudian bermuara pada pendirian berbagai partai-partai politik. Dalam hal ini dapat dikatakan memang sesuai pada zamannya.

Bahkan Mc. Ricklef menarasikannya sebagai masa kebangkitan perspektif politik yang revolusioner. Dengan kehadiran unsur semi militer/milisi sebagai alat politik yang kontra sosial. Alat politik inilah yang kelak menuai konflik sosial berkempanjangan. Ruang sosial menjadi arena baku tembak yang mengarah para perang saudara demi kepentingan politik.

Dalam hal ini, persoalan perundingan antara Indonesia dengan Belanda, kerap berakhir menjadi konflik antar sesama pejuang. Bahkan diantanya berujung pada upaya percobaan kudeta terhadap pemerintahan. Kebangkitan kelompok oposisi sudah seperti musuh dalam selimut, yang sewaktu-waktu dapat melakukan perlawanan.

Khususnya dalam kurun waktu 1945 hingga 1950an. Dimana masalah disintegrasi bangsa tengah mencuat karena intrik politik dan golongan. Sebutlah Pemberontakan Komunis tahun 1948, DI/TII, ataupun PRRI/Persmesta. Semuanya nyaris berkaitan dengan partai dan para milisi yang berada di barisan belakangnya.

Revolusi sosial yang terjadi pun berasal dari tarik menariknya adu kekuatan politik antar golongan (ideologis). Apalagi jika membuka tabir seteru antara kaum nasionalis melawan komunis, ataupun agama melawan komunis, dan sebaliknya lagi. Ditambah faktor kemelaratan ekonomi, yang menambah beban hidup menjadi "beringas". Tak terkecuali bagi setiap warga negara Indonesia.

Entah yang berada di kota, ataupun di desa. Mereka memiliki patron politik yang lahir secara sadar atau keterpaksaan. Dalam hal ini berada dibawah ancaman, dengan tujuan memperbesar dukungan rakyat. Tentunya demi kepentingan politik dengan proyeksi yang berkaitan terhadap kebijakan negara. Terlebih pada dekade 1950an, yang dianggap sebagai era kebangkitan partai politik saat itu.

Politik kebangsaan yang dianggap masih prematur tersebut memang memberi dampak signifikan terhadap sistem pemerintahan. Gonta ganti kabinet, hingga desersi kelompok militer, menjadi realitas politik yang disebutkan sebagai masa vivire pericoloso. Konflik antar golongan yang berubah menjadi gap politik antar masyarakat semakin mengental hingga meletus geger '65.

Dimana hal itu diperparah dengan kondisi politik pasca '65, yang kerap disebutkan sebagai masa kritis bangsa Indonesia. Pertikaian antara golongan agama dan nasionalis menghadapi komunis pun terjadi dimana-mana. Bahkan dikemukakan memakan korban hingga 500.000 jiwa. Selain dari mereka yang ditangkap dan hilang.

Prahara politik yang berkepanjangan ini kiranya dapat menjadi abstraksi perihal konflik ideologi. Walau terkesan fundamental, namun dalam beberapa pendekatan hal ini justru menjadi penghambat upaya persatuan dan kesatuan bangsa. Tak luput dengan peran serta pemerintah, dalam upaya menyelesaikan konflik melalui berbagai kebijakan-kebijakannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline