Polarisasi, kiranya adalah makna yang tepat untuk disematkan bagi generasi digital kini. Tak luput dari peran serta media digital, dalam locus sosial antar manusia. Tranformasi dalam bentuk komunikasi visual, yang kini tidak ada batasan kepada siapapun juga.
Dalam pendekatan kontemporer, polarisasi sering disebut sebagai bagian dari pergeseran perspektif sosialisasi. Baik antar individu, kelompok, atau yang berkaitan dengan identitas diri dengan kecenderungan tertentu.
Hal inilah yang kemudian mengkelompokkan suatu komunitas sosial dalam kesamaan orientasi kolektifnya. Seperti ungkap Mc Gaily (1992), bahwa semakin tinggi polarisasi yang terjadi, maka akan semakin kuat ikatan saling melindungi.
Walaupun banyak pandangan negatif yang justru muncul dalam melihat polarisasi tersebut secara intuisi.
"Dimana area digital menjadi arena unjuk eksistensi secara bebas dan terbuka. Dengan tidak adanya batasan yang dapat menjadi ruang penghambat masifnya komunikasi. Apalagi dalam memaknai nasionalisme secara parsial, yang memberi berbagai kesan beragamnya".
Baik dalam memberi pernyataan terkait rasa cinta terhadap bangsa dan negaranya, ataupun dengan unjuk sikap yang peduli dengan realitas kenegaraan. Entah dalam konotasi berbangsa, berbudaya, ataupun melalui identifikasi diri lainnya.
Sebuah kecenderungan yang sifatnya abstraktif dan penuh dengan pemaknaan luas tanpa harus terdikotomi secara sempit. Maka wajar, jika generasi digital mampu merepresentasikan rasa nasionalismenya melalui berbagai wujud eksistensi media.
Entah dalam kelompok diskusi formil, berbagai komunitas, atau area game online. Semua mampu memberi ruang bagi pernyataan eksplisitnya terhadap makna nasionalisme. Khususnya dalam memandang sebuah fenomena tertentu yang berkaitan dengan dirinya.
Dimana rasa nasionalisme saat ini dapat termanifestasikan secara masif walau dengan cara pandangnya masing-masing. Inilah yang sekiranya dapat diapresiasi dalam wujud keberpihakan masyarakat kepada generasi digital tersebut.
Seperti dalam berbagai wujud penokohan karakter yang identik dengan bangsa Indonesia. Baik dalam wujud anime ataupun karakter hero pada sebuah permainan. Walau hanya dalam sebuah kelompok sosial tertentu yang dapat memahami artikulasinya.
"Nasionalisme tidak bisa hanya bergerak pada tatanan kebangsaan yang sempit, layaknya hanya mencintai tanah air seperti rasa patriotisme" (Riyanto, dkk. 2015).
Pandangan tersebut kiranya merujuk pada realitas polarisasi nasionalisme secara terbuka yang lebih fleksibel di era digital. Melalui berbagai pendekatan yang lebih realistik dalam bentuk aksi "bela negara", sesuai dengan versinya masing-masing.