Lihat ke Halaman Asli

Hendra Fokker

TERVERIFIKASI

Pegiat Sosial

Kritik Cawe-Cawe Politik Gerakan Mahasiswa

Diperbarui: 8 Juli 2023   06:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Eksponen gerakan mahasiswa (sumber: dokpri)

Sudah tidak tabu lagi kini, banyaknya gerakan mahasiswa yang terlihat dekat dengan arena politik praktis. Tak luput sejak mencuatnya polemik partai mahasiswa, dan banyaknya mantan ketua gerakan mahasiswa yang kini terlibat dalam panggung politik. Pun dengan berbagai agenda gerakannya, yang tak luput dari orientasi dan wacana politik kontemporer.

Kita lihat bagaimana berbagai eksponen gerakan mahasiswa kini lebih terlihat aktif mendekati partai-partai politik. Entah dalam upaya memberi dukungan politis. Ataupun menyampaikan aspirasi publik, kita tentu tidak dapat memijak ranah tersebut. Secara tersirat sudah terpolarisasi dengan hadirnya politik praktis yang transaksional.

Artinya komunikasi transaksional bersifat politis dan tidak terbuka, tentu dapat membuat beragam opini mengemuka. Khususnya dalam ruang publik, yang masih memandang mahasiswa sebagai eksponen kesadaran moral dalam balancing control of democracy. Baik secara narasi kritisnya, ataupun aksi massa dalam proses demokratisasi. Hal inilah yang kiranya jadi kesadaran moralnya.

Dimana kesadaran inilah yang notabene melekat pada setiap eksponen gerakan mahasiswa. Sebagai agent of sosial control dalam berbagai diksi gerakan kesadaran masyarakat. Sebuah sintesa politis dalam locus balancing of power dan cenderung terpisah dengan political oriented. Artinya, mahasiswa sebagai kaum intelektual berdiri vis a vis kebijakan publik yang keluar sebagai agenda politik.

Inilah yang menjadi kritik terhadap sikap cawe-cawe organisasi gerakan mahasiswa saat ini. Paradigma kesadaran kritis yang kini terjerat dalam unsur politik dan penuh dengan kepentingan pribadi atau golongan. Bukan dalam kepentingan masyarakat, yang sudah seharusnya menjadi tanggung jawab kaum intelektual.

Dalam hal ini adalah dengan memberi kesadaran politik, yang sesuai dengan makna demokrasi. Maka, tak heran jika belakangan tidak ditemukan agenda gerak membangun masyarakat secara reformatif. Wajar jika kemudian kaum intelektual kini dianggap sebatas memberi imaji keberpihakan tanpa paham bagaimana konsep memberi edukasi secara positif.

Sebatas teori tidaklah dapat diproyeksikan membangun kesadaran masyarakat secara masif. Apalagi mengenai mentalitas mahasiswa yang dianggap sudah tidak layak mengemban amanah kaum intelektual. Kritik terhadap realitas gerakan ini dapatlah disampaikan sebagai pembuka dalam menghadapi tahun politik.

Terlebih jika gelaran pemilu sudah memasuki masa kampanye. Kita dapat lihat, bagaimana metamorfosa gerakan mahasiswa yang berkembang kemudian hari. Apakah akan terlibat politik praktis, atau tidak, publik akan menilainya sebagai wacana reposisi kaum intelektual yang telah terdiaspora.

Bukan soal hak sebagai warga negara dalam berpolitik, namun tugas dan amanat yang diemban sebagai seorang mahasiswa adalah catatan pentingnya. Karna akan sangat tidak elok jika eksponen gerakan sosial justru terlibat dalam deal-deal politik yang pragmatis. Tergantung sejauh mana idealisme dijadikan landasan gerak organisasi mahasiswa.

Artinya, kemerdekaan sebagai seorang mahasiswa dapat dikatakan ternoda jika telah terlibat dalam kepentingan politik, seperti sindir Soe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran. Kita kaum intelektual dapat belajar dari sejarah transisi politik di tahun 1966 dan 1998. Proyeksi membangun bangsa yang demokratis tentu akan ternoda jika idealisme telah tergadikan oleh pragmatisme.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline