Lihat ke Halaman Asli

Hendra Fokker

TERVERIFIKASI

Pegiat Sosial

"Lololo Gak Bahaya Ta?" Narasi Distorsi Terhadap Ruang Kritik

Diperbarui: 29 Juni 2023   21:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi pembatasan ruang kritik (sumber: dokpri/by canva)

"Lololo ga bahaya ta?", kalimat yang belakangan kerap kita dengar, dan familiar dengan makna positif atau dalam konteks sebagai pengingat. Dalam sebuah ungkapan yang dapat pula digambarkan sebagai personifikasi ketika menjelaskan sesuatu dengan ragam persepsi. Pemantiknya tentu dapat diartikan sebagai ungkapan rasa khawatir atas ucapan atau perilaku yang memicu kesan negatif.

Negatif dalam perspektif realitas di luar zona nyaman sebagai manusia. Dalam locus sosial, kalimat ini kerap dikaitkan dengan kesan memperingatkan kepada orang lain, yang hendak dan tengah berbuat sesuatu. Kita pahami secara sadar, artikulasi kalimat tersebut dengan pendekatan demokratisasi sosial.

Ruang kebebasan berekspresi dalam menyampaikan pendapat seolah terbatasi dengan hadirnya kalimat tersebut. Argumentasi kritis yang terbangun atas dasar kesadaran pun seolah terjebak dalam persepsi kata "bahaya". Artinya bahwa, apapun yang hendak kita kemukakan, memungkinkan ruang counter kritik semakin terbuka dengan bebas.

Dalam hal ini tentu saja dapat mengurangi arti kebebasan berpendapat yang sesuai dan dilindungi oleh Undang-Undang. Bukan justru dimasifkan dalam berbagai konten bertendensi negatif terhadap area demokratisasi sosial. Jika unsur kritik yang positif dapat diberi ruang terbuka tanpa adanya narasi "ancaman", kiranya check and balance dapat terjadi dengan baik.

Baik dalam pengawasan terhadap kebijakan publik, ataupun kepada kinerja aparatur pemerintah. Semua tentu dapat berperan aktif dalam tujuan yang positif, khususnya dalam orientasi edukasi. Terlebih jika berkenaan terhadap kebijakan politik.

Sejak viralnya kalimat tersebut dalam locus keseharian (sosial), ada banyak aspek yang terdistorsi dalam pemahaman demokrasi. Kita seketika enggan untuk dapat mengemukakan pendapat dihadapan publik atau media sosial. Terkait apapun persoalan dalam rasio protes ataupun koreksi terhadap sebuah perkara.

Misal, terkait viralnya PN Pandeglang yang "konon" telah berbuat tidak adil pada korban rudapaksa dan konten penyebaran video syur. Dimana lagi-lagi profile keluarga pejabat memiliki previlege lebih di mata pengadilan. Walau sempat jadi trending topic di Twitter, kisah ini nyaris tidak ada yang mengetahui, lantaran tidak ada yang bersuara. Hingga keluarga korban yang mengungkapkan permasalahan ini di ruang publik.

Itu hanya satu contoh yang dapat dijadikan rujukan. Ruang-ruang lembaga pelayanan publik, yang seharusnya dapat dikontrol oleh masyarakat, seakan mulai tidak tersentuh secara kritis. Distorsi ruang kritik inilah yang sejatinya dapat menjadi masalah sosial dengan ragam persepsinya. Apalagi jika hanya dapat dipendam, dan sewaktu-waktu dapat terlampiaskan secara keras.

Tentu hal tersebut tidaklah kita harapkan. Agar, apapun persoalannya dapat diselesaikan secara terbuka melalui berbagai metode dan cara yang humanis. Tidak bernarasikan ancaman, ataupun membatasi area kritik dalam berbagai diksi yang tidak positif. Apalagi jika kalimat "Ga bahaya ta?", dapat dijadikan narasi kritik terhadap kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan harapan publik.

Jadi, secara perspektif, maksud dan tujuan dari kalimat tersebut dibalik menjadi arah pengukur kebijakan publik dalam proyeksi kritik dari masyarakat. Jika hal tersebut dapat dilakukan secara berimbang, kiranya kalimat tersebut dapat memberi dukungan bagi semua pihak. Baik secara positif ataupun negatif, selaras dengan makna yang dijadikan konsepsi pengingatnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline