Persoalan industri ekstraktif kerap menuai berbagai polemik di berbagai daerah. Hal ini terjadi lantaran industri ekstraktif adalah suatu bentuk usaha eksploitasi alam yang ditujukan untuk mengambil sumber dayanya. Walau diperuntukkan guna kepentingan yang positif, dalam aspek ekonomis yang menguntungkan berbagai pihak.
Namun, potensi kerusakan alamlah yang kerap menghantui setiap eksploitasi alam dan dikatakan selalu mempengaruhi flora dan fauna pada lingkungan tersebut.
Dimana eksploitasi biasanya terjadi di area konservasi yang dilindungi keasrian dan kelestarian alamnya oleh Pemerintah. Inilah yang menjadi dilema bagi para investor atau pengusaha lokal dalam upaya mengembangkan industri ekstraktif. Khususnya bagi kepentingan ekonomi.
Jika merujuk pada aturan Pemerintah, kawasan konservasi ini meliputi; Taman Nasional, Suaka Margasatwa, Cagar Alam, hingga Area Konservasi Perairan. Dimana sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, Tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, menegaskan bahwa perlindungan flora dan fauna pada area konservasi merupakan hal utama.
Ditambahkan melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Tentang Kehutanan, dimana penyelenggara perlindungan hutan dan konservasi alam harus memiliki tujuan bagi kelestarian alam. Baik fungsi lindungnya, konservasi, ataupun produksi dapat tercapai secara optimal dan lestari berkesinambungan.
Sebuah kebijakan yang realitasnya kerap menuai polemik dalam penerapannya. Tidak serta merta melihat dampak yang akan terjadi pada alam, lantaran area tersebut dianggap sangat menguntungkan demi investasi. Khususnya bagi eksploitasi sumber daya alam, yang sampai saat ini marak terjadi. Bukan hanya di daratan, pun di wilayah perairan, yang sempat ramai karena pertambangan pasir laut.
Kita tentu masih ingat, bagaimana kisah smelter nikel yang hendak dibangun di area konservasi alam Savana Bekol, Baluran, pada beberapa tahun silam. Dalam hal ini, agenda tersebut tentu saja sangat merugikan eksistensi berbagai fauna alami yang ada di area tersebut. Belum lagi bayangan mengenai kerusakan lingkungan, sebagau akibat dari eksplorasi.
Jika di daratan, biasanya konflik sosial kerap terjadi dengan melibatkan berbagai pihak. Namun, jika di alam liar, apakah para hewan dan tumbuhan yang harus melakukan aksi penolakannya? Persoalan kerusakan lingkungan memang menjadi kekhawatiran yang begitu ramai diperbincangkan saat ini.
Hal ini tak ayal membuat berbagai pihak kerap melakukan kampanye pencegaham kerusakan area konservasi dari pengaruh industri ekstraktif. Walau untung rugi tentu ada kala terjadinya upaya saling menghegemoni. Apalagi jika hal tersebut berkaitan dengan kebijakan Pemerintah atau publik.
Polemik yang kerap terjadi pun selalu memberi ruang untuk hadirnya beragam aksi ataupun kegiatan yang merugikan berbagai pihak. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang harusnya dapat jadi pedoman, dalam beberapa kasus, justru tidak dijadikan landasan hukum dalam setiap penerapannya di lapangan. Semisal kala polemik pabrik semen di Kendeng terjadi beberapa tahun silam.