Lihat ke Halaman Asli

Hendra Fokker

TERVERIFIKASI

Pegiat Sosial

Kampanye di Kampus Boleh Saja, Asal?

Diperbarui: 11 Juni 2023   06:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi kampus (sumber: freepik via ihwal.id)

Kampanye dalam lembaga pendidikan yang dimaksud tentu mengacu pada Undang-Undang Tentang Pemilu No. 7 Tahun 2017, Pasal 820. Dengan penegasan bahwa lembaga pendidikan tidak boleh dipergunakan sebagai area kampanye politik. Hal ini merujuk pada mekanisme penyelenggaraan Pemilu yang terikat sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Secara spesifik, area yang dimaksud adalah fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan lembaga pendidikan. Dalam hal ini kiranya area kampus dikategorikan sebagai lembaga pendidikan yang independen dan terlepas dari pengaruh politisasi negatif. Politisasi negatif ini dapat berupa kampanye hitam, yang mendeskreditkan kandidat lain, dengan narasi-narasi negatif dan tidak terkontrol.

Apalagi kampus adalah ruang terbuka bagi para mahasiswa yang secara intelektual memiliki tanggung jawab moral sebagai penjaga masyarakat dari berbagai macam persoalan kehidupan. Baik dalam orientasi politik ataupun pemenuhan hak-haknya sebagai rakyat secara sosial.

Namun, tidak menutup kemungkinan, kebijakan kampus justru kerap menjadi ruang terbuka bagi arena kampanye "terselubung" dari para kontestan Pemilu. Baik eksekutif ataupun legislatif, dengan "dalih" mengadakan kerjasama dengan instansi atau lembaga yang "kebetulan" dipimpin oleh para calon tersebut.

Inilah yang menjadi dasar pelanggaran kampanye, dimana kegiatan politik praktis di area kampus secara tidak sadar akan memberi ruang sempit pada demokratisasi secara positif. Entah melalui tekanan dari para oknum praktisi (dosen) terhadap mahasiswanya ataupun dari organisasi pendukung (underbow) salah satu partai kontestan Pemilu.

Kiranya organisasi underbow politik inilah yang bergerak secara masif sesuai arahan atau kepentingan partainya masing-masing. Dalam hal ini tentu dapat membuka ruang konflik antar mahasiswa. Dimana sekiiranya sejarah Indonesia mencatatnya demikian, baik dalam ekskalasi politik tahun 1965 ataupun 1998, yang memang memiliki pusat gerakan politis dari lingkungan kampus.

Lingkungan kampus sebagai area independen dari anasir-anasir politik kiranya dapat diubah dalam persepsi yang positif. Jikalau memang hendak memahami orientasi politik dari para kandidat secara komprehensif, maka kegiatan berupa kajian, diskusi, atau seminar secara terbuka dapat menjadi opsi yang lebih baik.

Asalkan dilakukan secara netral dan berimbang, tanpa adanya atribut partai yang masuk ke area kampus. Netral dan berimbang dalam hal ini pengertiannya adalah, misalkan ada dua kandidat, tentu harus mendatangkan keduanya secara bersamaan. Ataupun ada seorang tokoh dari salah satu partai yang pro, tentu harus disandingkan pula tokoh yang kontra.

Selain dapat memberi edukasi secara positif, tentunya dapat memberi pandangan secara faktual bagi kalangan intelektual dari para kandidat atau partai tersebut. Membedah secara luas visi atau misi dari para kandidat, hingga tanya jawab secara terbuka dan dapat disaksikan secara langsung oleh publik.

Jadi secara intelektual, area kampus dapat menjadikan dirinya sebagai salah satu lembaga propaganda Pemilu sehat bagi masyarakat. Tidak serta merta memberi "dukungan" terhadap calon tertentu, tanpa adanya dialog intelektual yang rasional. Khususnya bagi para mahasiswa, dengan proyeksi tugasnya sebagai penyambung lidah rakyat, dengan berbagai pandangan atau ide yang membangun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline