Lihat ke Halaman Asli

Hendra Fokker

TERVERIFIKASI

Pegiat Sosial

Jika Rokok Dianggap Psikotropika

Diperbarui: 4 Juni 2023   06:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi rokok (sumber: kompas.com/shutterstock)

Perihal rencana penetapan rokok sebagai bagian dari zat psikotropika pada RUU Kesehatan, tentu membuat berbagai kalangan bertanya. Ada tujuan apa dari usulan yang dianggap membahayakan perekonomian bangsa ini? Apalagi kita ketahui banyak daerah yang bergantung pada industri rokok.

Baik bagi karyawan pabrik rokok, maupun petani tembakau, yang dapat dikatakan akan terancam secara ekonomi. Dimana hal Ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk diurai, melalui pendekatan sosial dan ekonomi. Walau secara medis, tentu kita pun tahu bahwa rokok tidak baik untuk kesehatan.

Dua aspek yang nampaknya tidak dapat disatukan dengan cepat. Secepat rumusan RUU Kesehatan diusulkan. Banyak aspek yang harus diperhatikan. Khususnya perihal penetapan tembakau sebagai barang "terlarang" untuk digunakan. Apalagi diracik dengan tujuan herbal ada aturan yang mengikat jika hal tersebut dijadikan alternatifnya. Begitulah kira-kira RUU Kesahatan menegaskan rokok sebagai barang yang dilarang.

Tepatnya pada RUU Kes Pasal 154 Ayat 3, yang menegaskan bahwa rokok adalah zat berbahaya. Dimana kandungan yang ada di dalamnya dapat menimbulkan rasa kecanduan. Ini kiranya patut ditelaah lebih jauh, baik dalam status aturan pemakaian ataupun penggunaan. Bukan lantas disejajarkan dengan narkotika. Apalagi jika dikaitkan dengan roda perekonomian bangsa, yang memiliki serapan cukai atas tembakau sebesar   198,02 Trilliun.

Itu hanya dari cukai tembakaunya saja, belum lagi pajak mengenai produksi dan distribusinya. Ditambah dari pajak yang dikeluarkan oleh buruh pabrik rokok. Dimana serapannya pun dapat dibilang sangat besar, yang sepadan dengan pembangunan sebuah kota. Kita dapat lihat Kudus dan Kediri, sebagai kota yang dapat berkembang dari industri rokok. Baik konvensional atau tradisional.

Jutaan buruh pabrik tentu memiliki ruang ekonominya masing-masing. Ini tentu berkaitan dengan pekerjaan yang jadi penopang hidup. Lantas, jika seluruh pabrik rokok konvensional ditutup, apakah sudah ada alternatif pekerjaan yang telah disiapkan oleh Pemerintah, ketika suatu saat nanti kebijakan tersebut direalisasikan?

Efek domino dari persoalan ini tentu dapat membuat kolaps sebuah kota, atau bahkan pendapatan negara berkurang drastis. Secara ekonomi memang riskan, namun secara kesehatan tentu memiliki kebaikan.

Layak buah simalakama, yang memiliki untung ruginya masing-masing. Namun, dari persoalan ini justru tampak fenomena lain yang berkembang menjadi pola sosial di masyarakat. Industri vape, yang konon dianggap sebagai alternatif pengganti rokok, akankah hadir sebagai varian "rokok" gaya baru?

Walau kita belum dapat berpendapat secara pasti atas ketetapan ini. Apakah telah ada bentuk monopoli atas kehadiran vape di tengah masyarakat? Atau memang kehadiran vape akan ditetapkan sebagai alternatif pengganti rokok? Tentu hal ini dapat menjadi pertanyaan umum di lapisan masyarakat. Khususnya masyarakat kelas bawah, yang sudah terbiasa dengan rokok konvensional dan tradisional. Apalagi jika dikaitkan dengan harganya yang jauh lebih murah.

Bahkan sebagian lagi apatis terhadap rencana penetapan rokok sebagai bagian dari psikotropika. Akankah masuk dalam kategori kejahatan berat atau ringan, dalam status hukumannya? Apalagi jika kedapatan memakai dan mengedarkan. Tentu akan semakin bias persepsi bukan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline