Belakangan memang marak, berita ataupun kabar yang berkaitan dengan kegiatan kampanye di dalam lingkungan ibadah. Baik secara tertutup ataupun terbuka, layaknya panggung politik dengan mimbar agama sebagai alternatifnya. Ini mungkin fenomena yang sudah biasa terjadi dalam iklim politik jelang gelaran Pemilu. Maka wajar jika publik banyak memberi persepsinya masing-masing.
Pandangannya tidak lain berangkat dari pertanyaan, apakah dapat dibenarkan ruang ibadah dijadikan area kampanye dari para calon kandidat. Baik bagi para calon Presiden (capres) ataupun calon legislatif (caleg), yang memiliki hak dalam memakai ruang publik untuk kepentingan politisnya.
Walau dapat dikatakan sebagai hak bagi setiap warga negara, belakangan persoalan ini justru menuai berbagai dukungan hingga aksi kecaman. Lantas, apakah ada yang salah dalam kegiatan politik tersebut?
Disini kiranya dapat dijelaskan perihal aturan dan hukum yang berlaku. Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 7, Tahun 2017, Tentang Pemilu. Pada pasal 280, Poin 1 (h), dijelaskan bahwa; pelaksana, peserta, dan tim kampanye dilarang untuk menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
Secara tegas Undang-Undang tersebut menjelaskan secara rinci, mengenai lokasi/area yang dilarang untuk dijadikan arena politik praktis. Namun, realitanya aturan tersebut selalu dilanggar oleh masing-masing calon kontestan. Ini kiranya yang sama-sama kita ketahui, baik secara terbuka atau tertutup, dalam mimbar keagamaan yang kadang disisipkan agenda politik calon tertentu.
Dimana biasanya hal tersebut akan melibatkan aparatur setempat yang dapat dikatakan melakukan pendampingan atau pengamanan. Ini justru menimbulkan tindak pelanggaran baru, seperti yang dijelaskan pada pasal 280, poin 2. Pada pasal tersebut dengan tegas menjelaskan perihal larangan bagi pejabat negara, aparatur sipil, TNI/Polri, kepala dan perangkat desa, dll, untuk terlibat dalam kampanye yang tidak dibenarkan oleh Undang-Undang.
Tidak dipungkiri, bahwa setiap kandidat biasanya mempunyai lumbung suara yang menjadikan area terbuka bagi pelanggaran seperti yang telah dijelaskan. Dukungan tentu saja dapat diberikan, namun tidak diperkenankan mempergunakan jabatan ataupun fasilitas umum yang dapat menuai beragam reaksi. Apalagi tempat ibadah, yang dianggap sakral, dan jauh dari urusan dunia.
Walaupun pemberlakuan hukum tersebut kerap ditafsirkan hanya berlaku pada masa kampanye, namun alangkah bijak jika aturan tersebut juga dipahami secara menyeluruh. Yakni, ditaati sebelum ataupun setelah ditetapkannya masa kampanye terhadap masing-masing kandidat oleh Bawaslu. Sebenarnya perihal aturan ini masih banyak yang memperdebatkan keabsahannya.
Tergantung pola pikir dan dukungan yang diberikan terhadap masing-masing kandidat. Apalagi jika terlibat dalam tim suksesi salah satu calon yang hendak diusung. Ada kebiasaan manusia Indonesia yang memang tampak ketika gelaran Pemilu dilaksanakan, yakni latah politik. Ini kiranya adalah ciri lain dari sisi feodal seperti yang diungkapkan oleh Mochtar Lubis.
Apalagi ketika "junjungannya" maju sebagai calon kandidat yang diperhitungkan. Maka sikap tunduk pada kekuasaan atau kuasa harus dibuktikan dengan dukungan secara terbuka bagi mereka yang tidak punya kuasa. Ini secara faktual memang terjadi pada setiap sendi sosial masyarakat kita saat ini. Menjadi hal tabu, jika membicarakan perihal lawan politik, ataupun orientasi kampanye positif.