Lihat ke Halaman Asli

Hendra Fokker

TERVERIFIKASI

Pegiat Sosial

25 Tahun Reformasi, Mahasiswa dalam Wacana Dekadensi

Diperbarui: 21 Mei 2023   06:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi aksi demonstrasi mahasiswa (sumber: dokpri/arsip)

Jelang Peringatan Hari Reformasi, kiranya hal ini dapat menjadi bahan evaluasi dalam proyeksi positif bagi semua. Khususnya bagi para mahasiswa, yang mengemban amanah sebagai agent of change dan agent of social control. Dekadensi sendiri merupakan wacana yang senantiasa mengemuka, kala nostalgia gerakan 1998 selalu diperingati setiap tahunnya.

Patut dipahami, bahwa dekadensi setiap waktu terus terjadi seiring perubahan zaman dan pola pikir moralitas intelektualnya. Tidak terkecuali bagi mahasiswa, yang mempunyai peran utama dalam menjaga bangsa dari pergeseran ideologisnya. Inilah yang dengan tegas dikemukakan oleh Soe Hok Gie, ketika banyak melihat rekan seperjuangannya (mahasiswa) mulai tertarik dengan kekuasaan.

Kekuasaan yang tak lain berada dalam lingkungan pemerintahan tentunya. Dimana hal ini dianggapnya sebagai bagian dari dekadensi moral para intelektual muda kala itu. Bagi aktivis angkatan '66 ini, hal itu diproyeksikan sebagai bentuk pergeseran arah juang dari mahasiswa yang seharusnya berlaku independen dan tidak terlibat dalam lingkar kuasa (Catatan Seorang Demonstran-Gie).

Bahkan Gie disebutkan pernah memberi kado kepada rekan aktivis mahasiswa dengan isi seperangkat alat rias. Ini adalah kritik Gie yang dilampiaskan bagi "para pesolek", di era transisi tahun '66. Sudah semestinya mahasiswa menjadi individu yang merdeka, seperti apa yang menjadi idealismenya sebagai intelektual muda.

Realitas serupa pun dihadapi oleh para aktivis mahasiswa angkatan 74 (Malari). Melalui ulasannya Bergerak Bersama Rakyat: Sebuah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia, Suharsih dan Ign. Mahendra menerangkan bahwa sejak tahun 1970, sudah banyak mahasiswa memilih untuk berbaur dengan relasi kekuasaan. Apalagi setelah Malari meletus di tahun 1974.

Persoalan dekadensi moral inilah yang kemudian menjadi kritik W.S. Rendra dalam sajak "Pertemuan Mahasiswa", pada tahun 1977. Bagaimana tugas dan peran mahasiswa sebagai punggawa moralitas sosial semestinya harus sesuai dengan peranannya membangun bangsa. Bukan justru "lebay" dengan kebijakan-kebijakan tanpa ada kritik yang positif.

Jadi setelah 3 tahun Malari berakhir, W.S. Rendra tidak kendur dalam menyuarakan pesan-pesannya kepada para mahasiswa. Kala itu sajak "Sebatang Lisong", yang mengkisahkan fenomena sosial pada masa itu, menjadi senjata kritiknya melalui panggung-panggung budaya. Walaupun bui adalah ganjaran untuk sikap kritisnya sejak tahun '70an.

Seakan sejarah senantiasa berulang setiap masanya. Pun demikian kala Reformasi 1998 bergulir, kita tentu paham siapa saja para tokoh gerakan mahasiswa yang kini berada dalam lingkaran kekuasaan. Banyak hal yang harus dikoreksi sebagai kritik terhadap arah juang gerakan intelektual dalam konsep sosial kenegaraan.

Tidak semestinya berubah arah seiring kepentingan zaman dengan meninggalkan prinsip idealismenya sebagai aktor intelektual. Tentunya agar demokratisasi dapat berjalan sesuai dengan kepentingan rakyat, dan justru bukan sebaliknya. Anggapan bahwa semangat Reformasi sudah usai seiring berakhirnya kepemimpinan Presiden Soeharto, pun dirasa tidak tepat.

Ada harapan yang terus terpatri dalam semangat juang intelektual muda (mahasiswa) yang harus terus dijaga untuk dilestarikan. Berbagai harapan para pahlawan Reformasi yang gugur pada masanya. Agar tidak sirna ditelan kepentingan zaman. Ini kiranya apa yang menjadi kritik utama dalam realitas dekadensi gerakan mahasiswa saat ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline