Lihat ke Halaman Asli

Hendra Fokker

TERVERIFIKASI

Pegiat Sosial

Soedirman Terpilih Menjadi Panglima Besar

Diperbarui: 12 November 2022   06:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam sebuah literasi (Sumber: dokpri)

Ketika Surabaya tengah dalam kondisi mencekam akibat gempuran Sekutu pada 10 November 1945, para pucuk pimpinan TKR ternyata juga sedang gelisah lantaran ketiadaan seorang pemimpin diantara mereka. Supriyadi, yang sejatinya ditunjuk oleh Pemerintah Pusat, tak kunjung tampak usai peristiwa perlawanan PETA di Blitar sejak 14 Februari 1945.

Kondisi Negara kala itu memang dalam kondisi genting, karena pecah pertempuran dimana-mana. Usai pertempuran di Semarang dan Ambarawa, hingga saat di Surabaya. Kekhawatiran serangan terhadap Jogjakarta, tengah menjadi perbincangan hangat dikalangan para pejuang. Mereka seolah tidak mau menghadapi peristiwa serupa, seperti insiden di Magelang pada 20 Oktober 1945.

Memasuki bulan November 1945, di area Magelang hingga Solo masih terjadi aksi baku tembak dengan pasukan NICA-Belanda. Tentu saja, tujuan Sekutu selanjutnya adalah Jogjakarta. Maka mau tidak mau, kota penting yang menjadi "sarang" dari para pejuang Republik itu harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan.

Khususnya bagi kesatuan tentara reguler yang belum memiliki satu rantai komando, ataupun dengan kesatuan tempur dari laskar hingga pelajar. Mereka butuh seorang pemimpin, seperti yang diutarakan oleh Oerip Sumohardjo, yang kala itu menjabat sebagai Kepala Staf TKR. "Mereka selalu adu jago di jalanan hingga menimbulkan kesan buruk bagi rakyat", ungkapnya.

Kerap terjadinya kesalahpahaman hingga menimbulkan gesekan diantara para pejuang, sudah semestinya diselesaikan dengan cara merestrukturalisasi kepemimpinan tentara. Tepatnya di daerah Gondokusuman, Jogjakarta, pada 12 November 1945. Para pemimpin TKR yang ada di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah, dengan segera melakukan konsolidasi untuk menyikapi persoalan yang ada.

Kecuali para pimpinan TKR dari Jawa Timur, yang tengah memusatkan kekuatannya dalam pertempuran di Surabaya. Melalui Kolonel Holland Iskandar, upaya musyawarah dilakukan untuk memutuskan siapa pengganti Supriyadi. Jikalau upaya musyawarah tidak menghasilkan, maka voting adalah jalan keluar yang dapat dilakukan.

Hal itu diungkapkan oleh Holland Iskandar yang meminta setiap perwakilan mengutarakan pilihannya. Ada opsi yang dibuat dengan mencantumkan nama para tokoh militer yang dianggap berpengaruh kala itu. Seperti Sultan Hamengkubuwono IX, Soedriman, Oerip Sumohardjo, Suryadi Suryadharma, GPH Purwo Negoro, Wijoyo Suryo Kusumo, M. Pardi, dan Nasir.

Semua nama merupakan pimpinan TKR ataupun BKR dari daerah dan kesatuannya masing-masing. Semua hadirin pun dianggap telah menjadi perwakilan dari setiap matra, baik Angkatan Darat, Tentara Laut, dan Udara. Baik dengan sistem keterwakilan dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, khususnya Jawa.

Setelah prosesi musyawarah tidak membuahkan hasil, maka voting dilakukan pada hari itu juga. Hingga pada prosesi akhir pemilihan yang menjadikan Oerip Sumohardjo dan Soedirman menjadi dua calon terkuatnya. Tetapi, suara dari perwakilan tentara wilayah Sumatera lebih memilih Soedirman untuk ditetapkan sebagai pemimpin.

Hal tersebut diputuskan lantaran latar belakang Soedirman yang dianggap lebih dekat dengan para pejuang di lapangan. Berbeda dengan Oerip, yang lebih fokus dalam urusan administrasi tentara. Selain itu, Oerip dianggap oleh para hadirin sebagai seorang tentara hasil didikan Belanda di KNIL, sedangkan Soedirman berasal dari PETA.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline