Telah diulas pada peristiwa sehari sebelumnya, yakni kedatangan tentara Sekutu pada tanggal 9 Oktober 1945 di Medan. Pimpinan pemerintahan Sumatera, bersama pasukan pejuang yang terdiri dari para bekas tentara Jepang dengan segera mengadakan konsolidasi guna mengatasi segala kemungkinan. Hal ini dikarenakan RAPWI sudah mulai menjalankan tugasnya dalam mengurus tawanan perang.
Tanggal 10 Oktober 1945, adalah momentum paling penting yang terjadi terhadap seluruh struktur badan perjuangan di Medan. Baik dari para pemuda dan masyarakat, saling mengkonsolidasikan diri untuk memobilisasi kekuatan bersama barisan perjuangan. Senada dengan pasukan pejuang dibawah Ahmad Tahir. Bersama rekan-rekan seperjuangannya sejak kemarin justru telah bersiap untuk bertempur.
Tidak lain karena mereka menilai kehadiran RAPWI justru memberi angin segar bagi pasukan Belanda yang telah dibebaskan. Mereka melihat, bahwa ada upaya mempersenjatai diri guna melawan pemerintah Republik yang telah merdeka. Pada titik inilah, terjadi aksi perebutan senjata dari tangan para tentara Jepang di beberapa lokasi oleh para pejuang.
Melihat makin maraknya kekuatan massa bersenjata, Teuku Muhammad Hasan selaku Gubernur Sumatera lantas memberi perintah darurat kepada Ahmad Tahir, seorang tentara pejuang eks Gyugun. Hal ini senada dengan prediksi Ahmad Tahir terhadap gelagat aksi bersenjata yang kelak akan meletus.
Gubernur memberi perintah agar dibentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) langsung dibawah komando Ahmad Tahir. Gunanya untuk memobilisasi kekuatan "liar", yang kala itu kerap bertindak diluar perencanaan. Banyak diantara para laskar pejuang secara frontal terlibat saling serang dengan pasukan Sekutu. Mereka saling ejek dengan kondisi emosional yang justru merugikan rakyat.
Suasana tentu semakin panas mulai detik ini, khususnya sejak TKR secara resmi dibentuk untuk menghadapi kekuatan Sekutu. Aksi kibar bendera merah putih dan unjuk senjata sudah menjadi hal lumrah. Apalagi para pejuang Republik rata-rata hanya berbekal senjata alakadarnya. Seolah nyali melebihi tajamnya peluru Sekutu yang siap membidik para pejuang yang kalap.
Konsolidasi kekuatan bersama eks pasukan Heiho pun semakin membuat kekuatan pejuang Republik besar. Datangnya bala bantuan para laskar pemuda dari luar kota Medan, sudah semakin membuat kota panas akan intrik dan gesekan yang sentimentil. Show of power sedikit demi sedikit dimulai sejak kini.
Adakala seorang interniran Belanda justru memancing keributan dengan para pejuang, walau masih kerap dilerai dengan pendekatan diplomasi. Sikap-sikap pongah tentara yang baru dibebaskan, seakan menjadi pertanda akan hadirnya sebuah aksi pembalasan. Hingga di waktu malam, tangsi Sekutu selalu diintai oleh bidikan senjata dari para pejuang.
Provokasi bersenjata pun sudah mulai ditunjukkan oleh pasukan NICA yang telah mempersenjatai para tahanan yang telah dibebaskan. Sekutu sepertinya telah memikirkan betapa strategisnya Medan sebagai pusat kekuatan bagi tentara Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Artinya, menguasai Medan, sama halnya dengan menaklukkan seluruh wilayah Sumatera Timur.
Tetapi, kehadiran TKR dan berisan perjuangan lainnya tentu akan memberi kisah yang berbeda dalam kisah pertempuran Medan Area kelak. Penting yang harus diketahui, bahwa strategi gerilya masih menjadi prioritas utama dalam penerapan metode hit and run walau dalam pertempuran kota.