Lihat ke Halaman Asli

Hendra Fokker

TERVERIFIKASI

Pegiat Sosial

Prahara Politik Indonesia Sebelum 1965

Diperbarui: 29 September 2022   00:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemilu 1955 (mobgenic.com)

Sekiranya tulisan ini hanya sekedar untuk jadi bahan pengingat kita bersama, bahwa masa-masa kelam yang menjadi prahara di masa lalu dapat senantiasa kita ambil hikmahnya. Khususnya bila membahas mengenai prahara 1965, yang melibatkan berbagai pihak, baik dari unsur militer ataupun politik hingga menyebabkan malapetaka sosial.

Walau pada akhirnya akan banyak saling tuding terkait kebenaran tragedi sosial tersebut dengan sudut pandangnya masing-masing. Tentu hal ini dapat dipahami bersama, karena memang, sejarah ditulis oleh sang pemenang. Artinya bahwa kebenaran dapat sama-sama dibuka selama sesuai dengan fakta dan data yang ada, walau tetap melalui perspektifnya masing-masing.

Dapat kiranya kita sama-sama pahami, bahwa keterlibatan dari Partai Komunis Indonesia (PKI) dibawah D.N. Aidit kala itu memang benar adanya. Fakta-fakta yang menjelaskan mengenai konstelasi politik yang tengah hangat sejak dekade 60an akibat Perang Dingin tentu tidak dapat disangkal kebenarannya.

Semua pihak tengah "beradu" kekuatan dalam kancah pertarungan ideologi dunia kala itu. Sebuah realitas yang memang telah mempengaruhi negara-negara dunia ketiga, khususnya Indonesia. Secara geopolitik, kawasan Asia Tenggara memang menjadi "magnet" dalam pertarungan antar ideologi-ideologi dunia pasca Perang Dunia 2.

Sekiranya dalam kesempatan ini, dapat disajikan realitas politik yang terjadi di masa itu. Sekedar memberi informasi analitik dalam kita melihat peristiwa September 1965 dari berbagai sudut pandang sosial dan politik.

Hal ini bermula saat PKI berhasil memutarbalikkan fakta pada peristiwa Madiun 1948. Seperti yang dikemukakan oleh Soemarsono, provokasi Kabinet Hatta, dianggap sebagai biang keladi terjadinya pemberontakan itu. Walau hal itu dilakukan oleh PKI hanya demi mengembalikan posisi tawar partai berhaluan komunis tersebut di kancah politik Indonesia.

Keberhasilan PKI untuk bangkit kembali di medio 50an, dapat dipahami sebagai buah dari perjuangan mereka dalam menarik simpati publik, hingga kepada Presiden Soekarno. Bahkan Rosihan Anwar menjelaskan, ada tiga unsur kekuatan yang kala itu bangkit dengan membawa kepentingannya masing-masing, yakni unsur Nasionalis, Agamis, dan Komunis.

Hal itu terbukti melalui pemilu yang dilaksanakan pada tahun 1955. Ada empat kekuatan besar yang menjadi pemenangnya, yakni PNI, Masyumi, NU, dan kemudian PKI. Secara ideologis hal ini memberi kesimpulan bahwa, kekuatan besar kaum Nasionalis, Agama, dan Komunis tengah terlibat dalam berbagai upaya menguasai Pemerintahan.

Hingga kemudian memunculkan ide Nasakomisasi yang diutarakan oleh Soekarno pada tahun 1959. Tujuannya untuk mengurai konflik antar kelompok ideologi yang saling berbenturan tersebut di dalam Pemerintah. Lain pihak, penerapan Demokrasi Terpimpin faktanya memberi angin segar pada kekuatan politik yang lebih dominan, seperti PKI.

Lantaran Masyumi sebagai salah satu unsur kekuatan politik besar, secara tegas telah dibubarkan oleh Soekarno pada tahun 1960. Masyumi dianggap bertanggung jawab dan terlibat dalam pemberontakan PRRI di Sumatera Barat yang terjadi pada tahun 1958.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline