Lihat ke Halaman Asli

Hendra Fokker

TERVERIFIKASI

Pegiat Sosial

Madiun Affair Pilih Soekarno atau Musso!

Diperbarui: 18 September 2022   12:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri. Kol Mahardi salah satu korban peristiwa Kresek

Usai kibar perang pasukan FDR/PKI di Madiun pada tanggal 18 September 1948, semua sistem pemerintahan kota langsung diambil alih untuk terus dikuasai oleh pasukan komunis. Berbagai huru-hara dan teror yang berlangsung selama penguasaan atas kota Madiun dibawah PKI. Begitupula dengan pasukan Siliwangi yang berhasil menembus kota dengan maksud mengadakan diplomasi.

Ialah Kolonel dr. Moestopo yang mencoba berdialog dengan Soemarsono. Antara pasukan Siliwangi dan Brigade 29 yang pro PKI sudah terjadi aksi pelucutan senjata. Sekali lagi, perang saudara usai huru-hara di Surakarta seakan kembali terbuka. Pemerintahan Front Nasional Madiun atau Pemerintahan Republik Soviet Madiun sudah "berdiri", seiring ikrar Musso untuk menantang Soekarno.

Kegagalan dr. Moestopo untuk membujuk Soemarsono di markasnya Rejoagung, telah menegaskan posisi tempur yang terbuka antar sesama pejuang eks Surabaya Affair. Begitupula atas apa yang terjadi di Jogjakarta, masih di tanggal 18 September 1948, ternyata PKI disana juga melancarkan aksi sepihak dan sabotase terhadap Pemerintah Republik.

Jogjakarta sebagai basis utama kekuatan militer Pemerintah pun langsung bertindak dan dengan segera menangkapi seluruh unsur partai dan militer yang berontak dibawah PKI. "Tidak ada ruang untuk para pelaku makar!", perintah Soekarno di Jogjakarta. Apalagi kala itu tengah tersiar kabar, bahwa Belanda hendak melancarkan Agresi Militernya yang kedua.

Tidak mau kehilangan pengaruh atas Musso, Soekarno dengan tegas menginstruksikan untuk melakukan penumpasan terhadap aksi kudeta Madiun. Terlebih karena sudah banyak berita yang mengkisahkan berbagai aksi kekerasan yang telah terjadi di sekitar Madiun. Soekarno tidak ingin kehilangan kepercayaan dari masyarakat dan dunia, yang kala itu tengah memberi dukungan kepada Indonesia.

Maka, usai undur diri dari Rejoagung, pasukan Siliwangi beserta para laskar perjuangan yang pro Pemerintah segera melakukan pengepungan atas kota Madiun. Sedangkan dari timur, gerakan pasukan TNI dibawah Kolonel Sungkono mulai membersihkan Kediri dari anasir komunis. Yap, beberapa waktu sebelumnya, para pemimpin komunis rupanya juga mempersiapkan Kediri sebagai basis kekuatan cadangan selain Madiun.

Kolonel A.H. Nasution pun segera bertindak atas instruksi Panglima Jenderal Soedirman. Praktis, usai Proklamasi Negara Soviet Madiun, para pasukan penggempur sudah mengepung Madiun dari sisi barat dan timur. Serta membebaskan Magetan dari para pasukan FDR/PKI yang telah membuat kekacauan dan teror disana.

Merasa terdesak dengan tanpa adanya kekuatan militer tambahan, para pimpinan PKI akhirnya mengalami perpecahan. "Jalan Baru" yang dikemukakan Musso, ternyata tidak mendapatkan simpati dari masyarakat dibawah teror. Begitupula dengan Amir Syarifuddin, yang justru dijadikan target utama penangkapan oleh Pemerintah Republik.

Harry A. Poeze juga menjelaskan, bahwa konflik antara petinggi PKI tidak lain karena diantara Musso dan Amir justru enggan untuk menetapkan siapa yang bertanggung jawab atas aksi di Madiun. Musso yang didapuk sebagai Presiden Negara Soviet Madiun, justru tidak mendapatkan dukungan dari kekuatan militer FDR dibawah Amir Syarifuddin.

Konflik yang akhirnya membuat Musso dan Amir memilih jalan "pelariannya" masing-masing. Sejak tanggal 20 September 1948, telah terjadi baku tembak antara pasukan penggempur dengan pasukan komunis di perbatasan Madiun. Puncaknya adalah ketika pasukan komunis yang tidak terorganisis mulai bertindak kejam terhadap penduduk.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline