Lihat ke Halaman Asli

Hendra Fokker

TERVERIFIKASI

Pegiat Sosial

Ospek "Sok" Keras Itu Warisan Penjajah

Diperbarui: 13 Agustus 2022   06:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi plonco/ospek (Sumber: Kompas/ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA)

Belakangan ini mulai ramai lagi terdengar persoalan "perploncoan", yang terjadi dalam suatu sistem pendidikan. Bukan menjadi hal yang baru sebenarnya sistem ini diterapkan di Indonesia. Karena sistem ini memiliki sejarahnya sendiri, hingga kemudian mampu berkembang seperti sekarang ini, walau tujuannya tentu saja berbeda-beda.

Rekam jejak perihal "perploncoan" ini sekiranya telah terjadi sejak masa Belanda berkuasa di Indonesia. Selanjutnya adalah pada masa pendudukan Jepang, yang lebih mengenal plonco sebagai bagian dari tujuan orientasi siswa baru. Terlebih pada sistem perkenalan dalam kemiliteran, seperti rekruitmen pasukan Heiho dan PETA.

Nah, apa yang terjadi belakangan ini sekiranya dapat membuat kita memahami istilah "perploncoal" ini dari pendekatan sejarah.

Lantas, apa sih "perploncoan" itu, yang "konon" menjadi agenda horor bagi para siswa/mahasiwa baru?

Mungkin masalah ini berangkat dari upaya sistem pengenalan terhadap hal yang baru bagi seorang siswa. Tetapi kerap diterjemahkan sebagai kegiatan yang kurang berkenan dalam konsepsi perkenalan pembelajaran.

Pada masa kolonial Belanda, para siswa STOVIA wajib mengikuti masa "perploncoan" ini selama lebih kurang 3 bulan. Tetapi Belanda lebih ketat dalam mengatur dan menjaga "aturan main" yang diterapkan selama masa perkenalan mahasiswa baru (maba) STOVIA.

Seperti, tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan "plonco" selama jam belajar dan istirahat dimulai. Selain itu, aktivitas yang berpotensi kekerasan fisik juga harus dihindari dan tidak ada toleransi.

Hal inilah yang kemudian membuat "perploncoan" pada masa pendudukan Jepang seakan menjadi terbalik. Ya tentu saja, karena Jepang punya aturan main yang bertentangan dan berbeda dengan konsep pendidikan Belanda.

Seperti melakukan penggundulan bagi setiap siswa/mahasiswa baru, dengan dasar tradisi, baik pada jenjang sekolah umum ataupun sekolah militer. Semua disamakan, untuk menegaskan bahwa orang tersebut adalah siswa/mahasiswa baru.

Apalagi jika alasannya adalah mendidik mental. Mental yang seperti apa yang dimaksud, sekiranya tujuan ini patut ditelaah agar bisa menjadi area reflektif apabila dirasa tidak sesuai dengan kebutuhan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline