Lihat ke Halaman Asli

Hendra Fokker

TERVERIFIKASI

Pegiat Sosial

Ketika Darah Pasukan Jepang Tumpah di Meliau

Diperbarui: 30 Juni 2022   06:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tugu Pang Suma (google.maps)

Sejarah Meliau tidak dapat dipisahkan dari pejuang yang bernama Pang Suma. Sebuah nama yang mungkin tidak dikenal oleh generasi saat ini. Sebagai pahlawan besar suku Dayak Desa, Pang Suma diketahui lahir di Nek Bindang, Meliau, Kalimantan Barat, pada tahun 1911. Tetapi secara rinci, biografinya belum dapat digali lebih dalam karena keterbatasan data sejarah mengenai kisah hidupnya.

Nama Pang Suma tercatat dalam rekam jejak perlawanan rakyat Kalimantan Barat dari pasukan Jepang. Pang Suma sendiri dikenal sebagai salah seorang pemimpin pasukan suku Dayak, tatkala peristiwa Meliau terjadi. Sebuah peristiwa yang membuat Meliau "banjir darah" dari para pasukan Jepang.

Peristiwa yang terjadi pada 30 Juni 1945 ini dilatarbelakangi sebagai akibat dari sikap sewenang-wenang Jepang terhadap suku Dayak Desa. Dimana setelah mengalami beberapa insiden pertikaian, seketika pasukan Dayak memasuki Meliau dari berbagai penjuru. Mereka memburu semua tentara Jepang, tak terkecuali para penduduk yang dianggap berkhianat. Meliau pun seketika terkepung dan dikuasai.

Setelah melalui berbagai pertempuran yang terjadi di setiap sudut Meliau, akhirnya kemenangan mutlak jatuh kepada para pejuang Dayak. Seketika, nama Pang Suma menjadi trending topic diantara para panglima perang Jepang yang tengah berkuasa di Pontianak. Kekuatan Jepang masih kuat disana kala itu, walaupun tengah terdesak oleh Sekutu usai kekalahannya pada pertempuran Laut Karang.

Tetapi uniknya, mengenai berapa jumlah korban yang jatuh pada peristiwa ini, nyaris tidak ada data yang menerangkan. Para pasukan Jepang yang tewas, seolah-olah hilang dari Meliau. Walau kita mengenal adat suku Dayak tatkala melakukan pertempuran ada tradisi yang tidak dapat dipisahkan.

Beberapa literasi menjelaskan, bahwa sesaat sebelum Pang Suma melancarkan serangannya, ada upacara "mangkok merah" yang dijalankan oleh para pejuang Dayak. Walau pendekatan secara antropologis ini masih dirasa belum dapat menjelaskan secara sistematis hingga prediktif.

Secara kronologis, sebenarnya peristiwa ini adalah klimaks dari pertikaian panjang antara pasukan Jepang dengan suku-suku Dayak. Khususnya mengenai persoalah kerusakan hutan, sebagai akibat dari eksploitasi alam oleh Jepang. Selain persoalan kebijakan romusha yang menyengsarakan, hanya demi kepentingan perang Jepang.

Sejak tahun 1942, upaya-upaya Jepang menguasai dan mempengaruhi masyarakat adat Kalimantan selalu mengalami pasang surut. Sistem pengupahan yang dilakukan Jepang untuk mengganti tenaga para penduduk, justru menimbulkan konflik sosial yang berakhir pada serangkaian pembunuhan terhadap orang Jepang disana.

Dimana Pang Suma sangat jelas menentang romusha, bahkan berani secara terang-terangan melakukan perlawanan terhadap seorang Jepang bernama Takeo Nakatani. Dilain tempat, Pang Suma bersama saudaranya Pang Ajung juga berhasil membunuh seorang mandor Jepang bernama Osaki.

Kisah serangan pasukan Dayak Desa terhadap pasukan Jepang di Meliau ini nyaris sama kisahnya dengan Sheediq Bale. Dalam film Warriors of The Rainbow: Sheediq Bale, menjelaskan kisah suku-suku pedalaman Taiwan yang kala itu tengah melawan pasukan pendudukan Jepang. Mereka berasal dari hutan-hutan, dan melakukan serangan secara sistematis untuk memberi perlawanan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline