Tepat pada hari ini, sosok pejuang eksentrik di kancah revolusi lahir di Desa Ngadiluwih, Kediri. Tepatnya pada tanggal 13 Juni 1913, seorang dokter pejuang yang besar dari lingkungan keluarga priyayi, Raden Koesoemowinoto. Selama masa pendudukan Belanda, ia berhasil menyelesaikan sekolah kedokteran gigi di Surabaya pada 1937 (STOVIT).
Selama masa pendudukan Jepang, Moestopo sempat ditangkap oleh kempeitai, polisi rahasia Jepang. Hal ini dikarenakan postur tubuh Moestopo identik dengan orang-orang Eropa. Selama dalam penahanan, ia berhasil membuktikan keahliannya dalam mengurus kesehatan gigi para tentara Jepang. Nah, moment inilah yang kemudian membuat dirinya direkrut untuk bergabung bersama pasukan PETA.
Ketika lulus, ia berpangkat shudancho, seperti kebanyakan orang Republik yang tergabung di PETA. Tetapi, karena kemahirannya, ia kemudian diangkat menjadi daidancho, sebagai komandan batalyon PETA di Gresik. Hal yang sangat langka terjadi, kedudukan tinggi yang diserahkan oleh Jepang kepada seorang pejuang Republik. Ya, hal ini terjadi karena Jepang tengah terdesak pada Perang Asia Timur Raya oleh Sekutu.
Hingga pada masa Proklamasi kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945, Moestopo mendirikan Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Jawa Timur. Hal ini menjadikan dirinya sangat disegani oleh para pejuang di Jawa Timur. Sontak saja, berbagai aksi perebutan senjata di Jawa Timur oleh para pejuang dari gudang-gudang senjata Jepang, dianggap sebagai tanggung jawabnya.
Padahal aksi tersebut terjadi secara spontanitas demi mempersenjatai diri dalam masa bersiap. Walau kemudian, dalam dialog yang terjadi dengan komandan garnisun Jepang, Iwabe, ia berhasil mendapatkan senjata tanpa terjadi pertumpahan darah. Karena Moestopo sangat menentang kehadiran tentara Sekutu di Surabaya. Dimana ia langsung turun keliling kota, untuk menggerakkan masyarakat guna melawan Sekutu.
Sebagai sosok yang sangat penting, Brigjen A.W.S. Mallaby sempat membuat kesepakatan dengannya pada 26 Oktober 1945. Bahwa pasukan Sekutu hanya boleh merapat di pelabuhan, untuk mengurus interniran Belanda dari Indonesia. Tapi, esoknya, justru Sekutu merangsek masuk ke dalam kota Surabaya dan melucuti senjata dari para pejuang Republik. Hal ini terjadi sesaat sebelum peristiwa 28 Oktober 1945 terjadi di Surabaya.
Peristiwa 28-29 Oktober adalah clash pertama yang terjadi antara pasukan Republik dengan pasukan Sekutu, dalam insiden pelucutan senjata. Kontak senjata ini pada akhirnya membuat Brigjen A.W.S. Mallaby terbunuh, ketika melakukan upaya gencatan senjata, pada 30 Oktober 1945. Usai peristiwa tersebut, maka serangkaian peristiwa yang mengawali pertempuran 10 November 1945 berjalan secara historiografis.
Hingga pada tahun 1946, Belanda telah menguasai wilayah pesisir Jawa, dimana kemudian ia memutuskan untuk pergi ke Jogjakarta. Hal ini dilakukannya untuk terlibat dalam pelatihan para kadet di Akademi Militer Jogjakarta, sewaktu-waktu berhadapan dengan Belanda kembali secara terbuka.
Selama di Jogjakarta, ada hal unik terjadi. Tatkala Sultan Hamengkubuwono IX resah dengan hadirnya para kriminal yang terdiri dari para perampok dan pencopet.
Keresahan Sultan ditanggapi oleh Moestopo dengan merekrut para kriminal tersebut, ia berpendirian bahwa para kriminal tetap memiliki jiwa nasionalis dan dapat dipergunakan untuk kepentingan perang. Melihat keputusan itu, Sultan tampak setengah percaya, walau pada akhirnya Moestopo berhasil mendirikan Pasukan Terate.