Wengker, sebagai latar belakang daerah kelahiran kebudayaan Reog Ponorogo merupakan fakta sejarah yang menjadi salah satu identitas budaya tak benda bangsa Indonesia. Dalam sejarahnya, kelahiran Reog tidak bisa dipisahkan dengan eksistensi Kerajaan Wengker yang berpusat di Jetis, Ponorogo kini. Bukti-bukti eksistensinya dapat dilihat dari berbagai prasasti yang diketemukan di Jawa Timur bertarikh periode Wengker hingga masa Majapahit (Lalu Mulyadi, 2018).
Sejak Belanda berkuasa di Indonesia, khususnya di daerah Ponorogo, problematika sosial yang terjadi seringkali menimbulkan pertikaian berlatar budaya. Baik antar penguasa/pemimpin daerah (yang kala itu didominasi oleh para Warok) ataupun dengan pihak-pihak kolonial.
Peristiwa yang tak kalah penting adalah tatkala Warok Brotodirjo III bergabung dengan pasukan Diponegoro untuk menentang Belanda. Selain itu, ada Warok Martopuro yang melakukan perlawanan terhadap Asisten Residen Madiun William Vansen. Fyi, menurut beberapa literasi Warok Martopuro ini adalah keturunan langsung dari Batoro Katong tokoh dibalik berdirinya kota Ponorogo.
Eksistensi perjuangan masyarakat Ponorogo tentu tidak hanya pada masa pra kemerdekaan. Dukungan terhadap Proklamasi Republik Indonesia juga ditunjukkan dengan berbagai aksi menjaga kemerdekaan dari upaya Belanda menguasai Indonesia. Tercatat, sejak peristiwa 10 November 1945, para pejuang Ponorogo berjibaku dalam berbagai pertempuran dengan pasukan Sekutu/Belanda (Diasmadi, 1983).
Dalam berbagai pertempuran para pasukan Wengker ini rata-rata "dibekali" oleh para pemimpinya, Warok. Baik dalam olah kanuragan ataupun kesaktian dari senjata-senjata yang dimilikinya. Berbekal rasa penasaran, minimnya literasi yang mengulas tentang kiprah para pasukan Wengker di kancah revolusi tentu menjadi cakrawala kesejarahan yang patut diulas. Walau harus disusun dari berbagai kutipan-kutipan peristiwa.
Seperti pada monumen Tentara Geni Pelajar (TGP) di Slahung, pertempuran yang terjadi di sekitar jembatan Plapar pada Februari 1947 harus dapat dijadikan bukti sejarah yang valid. Bahwa para pasukan Wengker, pada era revolusi telah menjelma menjadi para pejuang yang teguh dalam membela kemerdekaan Republik.
Sihman Hadi Soemarto, seorang veteran masa revolusi seperti dilansir dalam situs ponorogo.id, menerangkan secara detail berbagai peristiwa yang dialami oleh pejuang Ponorogo sejak Proklamasi dikumandangkan. Selain mendapatkan pelatihan militer formil, mereka juga dekat dengan pelatihan kanuragan, yang sudah menjadi identitas budaya masyarakat Ponorogo. Hal ini tentu wajar, apabila melihat dari sudut sosiologi budaya dari eksistensi Warok yang dominan.
Walau pada peristiwa pemberontakan komunis di tahun 1948, citra Warok dapat dikatakan tercoreng, akibat infiltrasi dari kaum komunis yang mencoba memanfaatkan situasi. Tetapi, dapat dikatakan tidak semua Warok terlibat dalam peristiwa 1948.
Selain dari tinjauan latar belakang sejarah yang lebih positif untuk melihat eksistensi perjuangan masyarakat Ponorogo selama melawan kolonialisasi. Tentu akan ada hikmah dibalik ragam peristiwa yang terjadi.
Sejarah perjuangan para pasukan Wengker ini, sudah sepatutnya dapat dikembangkan menjadi basic analisis sejarah yang update. Menimbang minimnya literasi dari berbagai serpihan peristiwa yang terjadi pada masa lalu. Hal ini tentu dapat dibingkai menjadi narasi ilmiah yang sudah pasti seru untuk diulas. Ada semacam missing era yang dapat dijadikan batasan penelitian, yakni pada fase masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Semoga bermanfaat.