Siapa yang tidak mengenal dokter Soetomo? Seorang tokoh Republik yang memperjuangkan semangat nasionalisme melalui Budi Utomo. Semangat yang kemudian menjadi tombak ditetapkannya Hari Kebangkitan Nasional, yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno pada 20 Mei 1948 (Henk Schulte Nordolt dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, 2008). Ya, seorang dokter lulusan STOVIA pada 1911 ini, mendirikan Budi Utomo sebagai organisasi nasional yang masif mengkampanyekan semangat persatuan dan kesatuan guna melawan kolonialisme.
Senada dengan Che Guevara dari Argentina, seorang tokoh revolusioner yang berjuangan memerangi dominasi asing di tanah Amerika Latin. Semangat memperjuangkan kehidupan yang layak melalui jalan gerilya, revolusi dan upaya kemerdekaan dari ketertindasan. Fyi, Che Guevara ini pernah datang ke Indonesia untuk menjalin kerjasama bersama Presiden Soekarno. Selama lawatannya di Indonesia pada tahun 1959, Che Guevara sempat berkunjung ke Candi Borobudur lho.
Berbeda antara dokter Soetomo, yang menerapkan perjuangan berlandaskan nasionalisme melalui langkah-langkah diplomatif. Che Guevara lebih menekankan langkah revolusi bersenjata untuk meraih kemenangan dalam meraih tujuannya. Dalam hal ini, kesamaan yang menonjol adalah, dua tokoh tersebut berprofesi sebagai seorang dokter. Dimana realitas masyarakat yang tertindas, menjadi alasan utamanya untuk turun berjuang.
Budi Utomo sendiri adalah organisasi yang didirikan pada 20 Mei 1908 di Jakarta. Selain dari dokter Soetomo, ada Goenawan Mangunkusoemo dan Soeraji, bersama penggagasnya yakni dokter Wahidin Sudirohusodo. Konsepsinya fokus pada perjuangan sosial, ekonomi, dan budaya, tidak ke arah politik, seperti apa yang dilakukan oleh Che Guevara.
Walau awalnya Budi Utomo hanya bergerak di Pulau Jawa, tetapi semangat nasionalisme yang disertai dengan persatuan dan kesatuan bangsa, sedikit demi sedikit memberikan kesadaran bagi perjuangan kedaerahan. Upaya konsolidasi berskala nasional menjadi agenda utama para pejuang kala itu. Kesadaran yang kemudian membuat berdirinya berbagai organisasi-organisasi sosial ataupun politik, seperti Sarekat Islam, Indische Partij, Perhimpuan Indonesia, ISDV, hingga PNI.
Pada fase Kebangkitan Nasional ini, strategi perjuangan kemerdekaan Indonesia (kedaerahan) mulai bergeser pada upaya konsolidasi nasional. Seperti Sumpah Pemuda, yang berhasil diadakan pada tahun 1928. Ikrar persatuan dan kesatuan menjadi kekuatan utama dalam upaya meraih kemerdekaan Indonesia.
Memang, dokter Sutomo tidak bertempur secara gerilya seperti Che Guevara. Tetapi, bagi kalangan intelektual sejatinya latar belakang pendidikan sudah seharusnya dapat menjadi modal untuk semangat melakukan perubahan. Perubahan dan perbaikan dalam berbagai sektor, sosial, ekonomi, budaya, dll. Kesadaran diri terhadap posisi kaum intelektual sudah semestinya dapat menjadi agen-agen utama dalam membangun sebuah bangsa.
Dengan tidak mengurangi rasa hormat, atau membandingkan, semoga tulisan ini dapat menjadi refleksi bagi kalangan intelektual saat ini. Sejarah memberikan ruang bagi kita untuk dapat belajar dan memahami arti kehidupan yang harus diperjuangkan, dan bukan menjadikan bangsa ini semakin tercerai berai dalam kepentingan kelompok atau golongan. Dokter Sutomo telah membuktikannya, bahwa status sosial dan intelektual sudah semestinya mampu berkontribusi untuk kepentingan bangsa dan negara. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H