Lihat ke Halaman Asli

Hendra Fahrizal

Certified Filmmaker and Script Writer.

Mengandung SARA atau Menyinggung SARA?

Diperbarui: 4 April 2023   13:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Foto : Kemenag

Sebagai filmmaker, saya kadang mengikuti pitching (seleksi ringkas) penerimaan sinopsis film, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta.

Ada beberapa hal saya akan mengurungkan diri mengikuti seleksi, pertama, saya akan lihat siapa jurinya lalu melihat karya-karyanya. Dari karya-karyanya, kita dapat melihat interest juri. Juri seni-- apapun seninya, tak mesti film-- akan mengedepankan subjektifitas daripada objektivitas. Tapi itu lumrah dan dibolehkan. Oleh karena itu juri perlombaan seni harus lebih dari tiga dan ganjil, agar subjektivitas terminimalisir. 

Jadi, bila saya perhatikan, bila ada juri yang berasal dari kalangan filmmaker pembuat film horor atau suspense, saya akan membatalkan ikut andai saya tak berencana membuat/melombakan film dengan genre demikian. 

Tapi kita tak bahas rinci soal itu, saya ingin membahas soal juknis lain. Bila dalam juknis tertulis bahwa film tidak boleh mengandung unsur SARA, maka saya akan batalkan keikutsertaan. Saya menganggap panitianya kurang matang merumuskan juknis.

Yang tak boleh dalam film, puisi, novel, dan karya apapun adalah tidak boleh menyinggung dan mendiskreditkan SARA. Artinya tidak boleh menghina, merendahkan, memojokkan suku, agama, ras dan antar-golongan.

Tapi kalau urusannya mengandung SARA, ya harusnya tidak apa-apa, sepanjang mendiskreditkan; tidak menyinggung, menghina, merendahkan dan memojokkan. Tapi anehnya, banyak lomba dalam ranah pemerintahan kita yang menuliskan ketentuan, "Konten tidak boleh mengandung SARA."

Kalau kandungan SARA sudah tak boleh, terus kreator mau bikin apa lagi? Karena ketika ada adegan seseorang sedang shalat, maka itu sudah mengandung SARA, mengandung sebuah proses ibadah sebuah agama. Kalau ada dialog, "Anda orang mana?" Lalu dijawab, "Saya orang Mentawai, pak." Itu juga sudah memiliki kandungan SARA, karena menyebutkan sebuah suku. Ketika ada dialog, "Apakabar pak Haji?" itupun sudah mengandung SARA, karena menyebutkan sebuah gelar bagi orang yang telah menunaikan rukun kelima dalam Islam.  Bila mengandung SARA dilarang, maka film Si Unyil adalah film yang mengandung SARA, karena dalam film si Unyil selalu pakai peci.

SARA tentu tak dapat dilepaskan dalam adegan dan dialog sebuah film, atau tulisan dalam sebuah novel dan lainnya. Tentu bukan itu yang dimaksud oleh panitia penyelenggaraan perlombaan/festival.

Karena sering terjadi, saya menyarankan agar ketentuan itu diubah, karena bahasa itu penting. Salah penggunaan diksi, maka salah penafsiran. Lucunya, kesalahan ini masih terjadi dalam ranah perlombaan di lingkup Kementerian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline