Lihat ke Halaman Asli

Hendra Fahrizal

Certified Filmmaker and Script Writer.

Latah

Diperbarui: 18 April 2021   22:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika pertama kali melihat bagaimana tanah genting di Panama harus dibelah untuk menjadi terusan atau kanal. Maka yang terbayang oleh segelintir orang cepat berputus asa mungkin adalah hanya mukjizat yang dapat melakukannya. Padahal jika terwuud, kanal ini dapat menghubungkan dua samudera yang membirukan bumi bila dilihat dari citra satelit, yakni Samudera Atlantik dan Pasifik, memangkas jarak tempuh kapal sekitar 3.700 kilometer (sekitar 2 kali Banda Aceh - Jakarta, dihitung garis lurus, karena moda pesawat dan kapal menggunakan moda garis lurus). 

Oleh karena itulah, pembangunan kanal ini tidak pernah berjalan maksimal sejak diwacanakan oleh Raja Charles V dari Spanyol pada tahun 1525. Alasannya macam-macam, wabah penyakit hingga tanah longsor. Tapi tentu alasan ini terkesan "agak dibikin-bikin" untuk menunda sebuah mahakarya penting hingga 400 tahun.

Ketika terusan Suez berhasil dibangun oleh Perancis pada 1865 dengan membelah Mesir sepanjang 153 kilometer. Pihak-pihak memiliki kepentingan pelayaran di Benua Amerika ini mulai "on-fire" lagi. Amerika Serikat kemudian kembali menggulirkan rencana pemotongan tanah genting sepanjang 82 kilometer ini (hampir sama jarak lintas Bireuen-Takengon) dengan imbal balik kemerdekaan Panama atas Kolombia. Konpensasinya, Amerika Serikat mengontrol atas terusan ini. Tercapai kata sepakat, akhirnya terusan ini kembali dibangun dan selesai pada 1904. Pada tahun itu di Aceh, Cut Nyak Dhien baru saja ditangkap Belanda.

Kalau bukan karena terusan Suez, mungkin pembangunan terusan Panama juga hanya menjadi sebuah proyek mukjizat. Terusan Panama terjadi karena ada orang lain yang telah melakukannya dan membuktikan imposible is just an opinion.

Membaca cerita diatas, kayak merasa ya kayak-kayak ginilah yang terjadi di Aceh sekarang.

Kalau ada adagium yang mengatakan, orang Aceh nggak kreatif, nggak punya terobosan dan sejenisnya. Itu sebenarnya --kalau kata Jaya Suprana-- masuk ke bidang ilmu kelirumologi karena tidak tepat. Mungkin yang tepat, karena kontrol kendali pemerintahan disini, dikuasai oleh orang yang menghindari trial-by-error. Padahal trial-by-error lah yang seiring sejalan dengan terciptanya terobosan penting, sejak ditemukannya bola lampu hingga pesawat terbang.

Beberapa ide cemerlang dari para kreator, mentah hanya karena terbentur sistem, kadang karena post biayanya nggak terdaftar di SBU (standar biaya umum) milik pemerintah provinsi. Kalau rajin membaca tentu akan dapat melihat banyak buah karya anak Aceh akhirnya hanya dihargai diluar Aceh (atau luar negeri). Itu sungguh konyol bin cincau.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline