Sudah hidup 35 tahun. Baru Mei lalu saya menginjakkan kaki di Malaysia. Padahal saya telah melanglang buana kemana-mana, tapi entah mengapa baru akhir bulan lalu saya bersedia mengunjungi negeri tetangga yang harga tiket perjalanannya cuma 200an ribu karena sangat dekat dari Aceh. Malaysia juga menjadi daerah perantauan favorit para lajang Aceh dibanding ke Jakarta atau Medan.
Salah satu keengganan saya mengunjungi Malaysia adalah, sikap merendahkan mereka terhadap orang Indonesia. Dari sebutan kata-kata Indon saja sudah kelihatan melecehkan. Kejadian yang paling tak mengenakkan adalah tentang iklan --kalo tak salah penyedot debu-- yang kira-kira berisi; "Dengan alat ini anda sudah tak memerlukan lagi pembantu Indonesia." Iklan tersebut menuai protes, termasuk nota keberatan dari SBY, Presiden Indonesia kala itu.
Saya terpaksa mengunjungi Malaysia karena permintaan istri saya yang ingin jalan-jalan kesana.
Sewaktu di Malaysia, istri saya menyarankan menyebut nama Aceh saja bila ditanya, karena secara historis kekerabatan kesultanan di masa lampau, dimata orang Malaysia, Aceh tak begitu identik dengan Indonesia. Akhirnya, saya menyebut nama Aceh saat ditanya, walaupun saat saya berkata demikian ke orang Malaysia yang menanyai, sebagian lalu menggeneralisasi saja, "Oh, Indonesia." Saran istri saya tak begitu berpengaruh.
Tapi pengalaman di Malaysia sungguh diluar dugaan. Saya bertemu dengan orang-orang Malaysia, dari manajer hotel, supir grab-taxi, dan lain-lain. Saat saya menjawab pertanyaan mereka bahwa saya dari Aceh, eh, Indonesia, mereka lalu langsung mengarahkan pembicaraan ke politik, dan mereka memuji Jokowi.
"Jokowi hebat, Indonesia sudah maju karena Jokowi," kata seseorang yang baru saya kenal.
"Saya dulu bekerja di bagian logistik, lalu saya berhenti karena pengurangan tenaga kerja, itu karena perusahaan saya kini lebih senang fokus di Indonesia. Jokowi pintar mengambil hati," kata orang yang lain.
"Ekonomi Malaysia kini sudah buruk, Indonesia telah meroket. Kini mata uang Ringgit terus melemah dibanding Rupiah," kata manajer hotel tempat saya tinggal. Saya tak kaji soal fluktuasi mata uang Rupiah atas Ringgit itu, jadi asal dengar sajalah.
Istri saya yang primordialis, karena terpengaruh orang disekelilingnya dan tak begitu respek dengan Jokowi, berdecak kagum atas pujian itu.
Saya penasaran, lalu mulai mencaritahu tentang Jokowi dimata masyarakat jiran. Di channel Youtube, saya menemukan beberapa video pidato atau orasi dari politisi Malaysia. Dominasi orasi itu adalah membandingkan Indonesia yang telah lebih baik dibandingkan Malaysia. Semua itu berkat Jokowi, kata mereka.
"Lihatlah Jokowi di Indonesia, ekonomi mereka tumbuh, mengalahkan kita. Kini kita membayar 900 ringgit saja untuk pembantu sudah susah. Besok mungkin kita yang akan menyumbang pembantu kesana," kata seorang politikus Malaysia itu.