Tiba-tiba menyeruak wacana Pemilu daerah. Saya lebih memilih menggunakan istilah Pemilu lokal. Sebagai gagasan alternatif atas Pemilu (nasional) secara serentak yang baru saja digelar.
Pemilu 2019 yang menimbulkan tragedi kemanusiaan dengan gugurnya para penyelenggara Pemilu dan aparat keamanan. Pemilu dengan durasi waktu yang panjang yang melebihi kemampuan ketahanan tubuh manusia normal.
Saya tidak akan mengulas masalah ini. Lebih penting daripada itu, apa solusi alternatif kedepan? Apakah manajemen Pemilu serentak dengan lima kotak suara pada lima tahun mendatang akan dipertahankan? Belajar dari pengalaman saat ini, menurut saya manajemen seperti itu harus dikaji ulang. Dan salah satu solusinya adalah Pemilu lokal.
Istilah Pemilu lokal bahkan Pemilu nasional tidak ada dalam UUD RI 1945 (selanjutnya disebut konstitusi). Pasal 22E sebatas menyebut frasa "pemilihan umum". Jadi bila saya menggunakan istilah "pemilu lokal" tidaklah bertentangan dengan konstitusi. Karena tafsir atas frasa "pemilihan umum" tidak menjadi ekstensif menjadi "pemilu nasional".
Dalam perjalanan sejarah kepemiluan di Indonesia, pemilihan anggota DPRD pernah dilaksanakan tidak serentak dengan DPR atau dilaksanakan terpisah waktunya setelah diberlakukan UU Nomor 27 Tahun 1948.
Bahwa Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD dan DPRD dipilih melalui pemilihan umum, tidaklah perlu diperdebatkan lagi. Pasal 22E ayat (2) secara terang benderang menyatakan hal tersebut. Kecuali Kepala Daerah yang dinyatakan dipilih secara demokratis (vide Pasal 18 ayat 4). Kata "demokratis" bermakna ganda dan menjadi kebijakan terbuka bagi perumus undang-undang.
Hanya yang menjadi perdebatan selanjutnya, apakah Pemilu harus dilakukan serentak? Serentak memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD dan DPRD. Serentak dalam pengertian umum dalam waktu yang sama. Meskipun Prof. Mahfud menafsirkan kata "serentak" tidak harus dalam hari dan jam yang sama. Saya tidak setuju dengan pendapat ini. Putusan Mahkamah Konstitusi perihal Pemilu serentak tidak bisa diberi tafsir lagi.
Tidak ada dalam norma konstitusi yang menyatakan bahwa Pemilu dilaksanakan serentak. Bila hakim konstitusi melalui putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, menyatakan "serentak", semata berdasarkan tafsir sistemik.
Dengan mengutip pendapat anggota Panitia Ad Hoc I BP MPR Slamet Effendy Yusuf pada saat amandemen UUD 1945 berlangsung. Menurut saya, Pendapat Slamet Effendy Yusuf itu tidak bisa dijadikan sandaran utama tafsir. Karena begitu banyak pendapat-pendapat lain yang berbeda pada saat sidang MPR tersebut.
Bahkan tidak bisa menjadi original intent makna asli atas rumusan pasal tentang Pemilu. Justru secara mayoritas anggota Panitia Ad Hoc I BP MPR menolak pemilu dilaksanakan serentak.