Kekhawatiran tentang registrasi ulang kartu SIM prabayar muncul dan marak belakangan ini. Terutama pesan dan informasi berantai yang menyebar lewat grup di WhatsApp dan status di Facebook. Bahwa data yang dikirimkan saat registrasi ulang berupa Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan nomor Kartu Keluarga (KK) dapat disalahgunakan. Yang lebih ekstrim, disalahgunakan untuk menjebol rekening bank pemilik pelanggan.
Masalahnya sederhana, informasi yang diterima lewat medsos itu langsung ditelan mentah tanpa "dikunyah" terlebih dahulu. Rendahnya kadar literasi membuat banyak orang terjebak menjadi kaum yang suka bergosip dan bergunjing atas informasi yang diterima. Sepatutnya informasi apapun yang diterima lewat medsos perlu dilakukan pembuktian, validasi dan proses "tabayyun"(crosscheck) terlebih dahulu.
Hal yang patut dipahami terlebih dahulu, apakah informasi tentang registrasi ulang kartu SIM prabayar itu dikeluarkan resmi oleh pemerintah apakah hanya hoax? Dan setelah dicek lewat laman resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika di situs Kominfo, informasi tersebut benar dan legal. Informasi tersebut benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Dan apakah "perintah" tersebut memiliki dasar hukumnya? Sebab jika tidak, akan muncul kecurigaan adanya motif politik dibalik "perintah" itu.
Registrasi ulang kartu SIM prabayar menggunakan alas hukum: Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No 12 Tahun 2016 yang telah diubah dengan Permen Kominfo No. 14 Tahun 2017 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi, dengan payung hukum UU No. 36 Tahun 1999. Jadi sebenarnya jelas, bahwa "perintah" untuk melakukan registrasi ulang kartu SIM prabayar ada dasar hukumnya. Meski demikian tetap saja muncul beberapa angapan-anggapan.
ANGGAPAN #1 TENTANG SANKSI
Karena registrasi ulang kartu SIM prabayar bersifat wajib tentu ada sanksi yang menyertainya. Utama adalah sanksi pemblokiran nomor pelanggan setelah tanggal 28 Februari 2018 dengan tahapan-tahapan. Tentu yang melakukan pemblokiran adalah perusahaan jasa atau provider jaringan telekomunikasi. Bila provider lalai dan abai atas ketentuan ini, maka perusahaan itu dijerat dengan sanksi administratif dalam Pasal 22 Permen Menkominfo No 12 Tahun 2016. Sanksi terberatnya adalah pencabutan izin.
Kemudian banyak orang membandingkan dengan "kewajiban" serupa sebelumnya dimana pelanggan harus mencantumkan identitasnya berupa NIK saat registrasi (perdana). Namun banyak yang mengabaikan dan tidak ada sanksi apapun. Hal yang harus diingat bahwa sebelum diberlakukannya Permen Menkominfo No 12 Tahun 2016, pemerintah menggunakan alas hukum Permen Nomor: 23/M.KOMINFO/10/2005 (yang saat ini aturan ini sudah tidak berlaku lagi). Memang serupa ada "kewajiban" tetapi sanksi yang diberikan kabur dan tidak jelas.
Dalam Pasal 7 Permen Nomor: 23/M.KOMINFO/10/2005 hanya disebut, "... dikenakan sanksi dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku". Dalam ranah hukum, frasa yang kabur dan multitafsir tidak akan efektif. Bahwa yang dimaksud dengan "Peraturan Perundang-undangan yang berlaku" adalah UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang disebut dalam konsideran Permen Nomor: 23/M.KOMINFO/10/2005. Namun sanksi dalam UU No. 36 Tahun 1999 (videPasal 45) tidak ada yang berkaitan dengan registrasi ulang kartu SIM prabayar.
Sehingga benar saja, bila para provider abai atas "kewajiban" ini karena ketentuan sanksi yang tidak jelas. Berbeda saat ini yang menggunakan sanksi administratif yang jelas dan tegas dalam Pasal 22 Permen Menkominfo No 12 Tahun 2016.
ANGGAPAN #2 TENTANG BANYAK ORANG TIDAK BER-KTP
Salah satu masalah yang dikemukakan atas penolakan registrasi ulang kartu SIM prabayar karena masih banyak penduduk Indonesia yang belum memiliki NIK karena belum memiliki KTP. Belum ada data yang jelas berapa banyak penduduk Indonesia yang belum memiliki KTP.