Lihat ke Halaman Asli

HENDRA BUDIMAN

TERVERIFIKASI

Swasta

Mengulik 6 Mitos DPD

Diperbarui: 12 April 2017   18:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Catatan singkat ini sebagai bagian abstrak tesis saya bahwa Indonesia menganut sistem quasi-bicameral. Sistem dua kamar semu. Ditandai dengan kelahiran dan keberadaaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sejak awal kelahirannya – tahun 2001, saat amandemen ketiga UUD 1945 – berkembang anggapan DPD adalah kamar parlemen sebelah.  Anggapan yang dilandasi dengan prespektif bicameralism itu kemudian berkembang menjadi mitos-mitos.  Berikut beberapa mitos DPD dan sanggahannya:

ANGGOTA DPD ADALAH SENATOR

Istilah senator memang sudah muncul saat amandemen UUD 1945 kedua tahun 2000. Saat para perumus ingin “mendemokratisasi” utusan daerah di MPR. Merujuk pada istilah anggota senat di Amerika Serikat. Istilah ini menjadi marak pada tahun 2004, saat pertama kali anggota DPD dilantik. Banyak kalangan termasuk media massa menyebut mereka Senator. Sampai sekarang.

Sebutan itu kemudian jadi semacam mitos. Bahwa anggota DPD itu sesungguhnya adalah seorang Senator sebagaimana di Amerika sana. Padahal tidak sama sekali. Mungkin ada bayangan dikepalanya, bahwa dirinya seperti sosok senator yang gagah berani menentang kebijkan luar negeri yang diajukan oleh Presiden. Sebagaimana para senator di Amerika sana. Baik secara konstitusional, penerapan undang-undang maupun tradisi ketatanegaraan, anggota DPD bukanlah senator. Indonesia memang pernah punya senator. Saat UUD RIS diberlakukan. Jadi bukan kasta senator Indonesia dan Amerika beda. Bukan. Tapi karena Indonesia tidak mengenal senat dan senator.

DPD ADALAH PARLEMEN DALAM SISTEM DUA KAMAR

Sama seperti mitos senator di atas. Sistem dua kamar atau bikameral menjadi bahan pembahasan dalam perumusan amandemen UUD 1945. Dari semua itu, kesimpulannya: Indonesia tidak menganut sistem dua kamar atau bikameral. Indonesia tetap pada unikameral atau satu kamar yakni DPR an sich.  Artinya DPD bukanlah kamar. Kamar dalam pengertian menjalankan fungsi parlemen dalam sistem dua kamar. Pendek kata DPD bukan parlemen. Bukan legislator. Bukan pihak yang merancang dan menyetujui undang-undang, sebagaimana umum fungsi parlemen.

Pada dasarnya DPD adalaha wujud Utusan Daerah yang didemokratisasi. Maksudnya anggota DPD dipilih tidak ditunjuk. Itu saja. Meskipun kemudian ditambah dengan kewenangan dapat mengajukan RUU yang berkaitan dengan Otonomi Daerah.

DPD adalah anggota MPR. Sama seperti anggota DPR. Apa hak, kewajiban dan kewenangan DPR sama seperti DPD sesama anggota MPR. Lalu apa kewenangan MPR. Sila baca sendiri UUD 1945. Diantaranya dapat memberhentikan Presiden. MPR bukan Kongres seperti Amerika. Karena Kongres menjalankan fungsi parlemen. Sedangkan MPR tidak. Kalau mau dibilang kamar, dahulu Indonesia menganut sistem tiga kamar di MPR saat Utusan Golongan masih ada.

DPD LEBIH SAH DISEBUT WAKIL RAKYAT KETIMBANG DPR

Anggapan dan kemudian jadi mitos ini berkembang pada anggota DPD yang terpilih. Dipilih rakyat dalam Pemilu. Dalam hitung-hitungan perolehan suara, anggota DPD lebih banyak mendapat dukungan suara ketimbang anggota DPR, yang sama-sama sebagai bagian dari lembaga perwakilan. Ambil contoh provinsi Jawa Tengah. Anggota DPR yang terpilih lebih dari 40 orang. Sedangkan anggota DPD hanya 4 orang. Artinya merekalah yang paling sah disebut wakil rakyat.

Padahal dipilih langsung oleh rakyat hanyalah cara atau mekanisme demokrasi. Bukan berarti dipilih rakyat berarti wakil rakyat. Jika diperbandingkan seperti itu, tentu Presiden dan Wakil Presiden yang lebih sah disebut wakil rakyat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline