Tulisan ini terinspirasi dari artikel rekan kompasioner Daniel H.t.berjudulBelum Korupsi Anggota DPRD DKI Jakarta Tidak Bisa Dipidana?. Rekan Daniel mengulas pernyataan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Mohamad Taufik yang menyatakan bahwa para anggota DPRD DKI tidak akan ada yang tersangkut masalah hukum terkait dugaan adanya "dana siluman" pada RAPBD 2015. “Kasus ini enggak mungkin sama, soalnya anggaran belum digunakan, baru disahkan. Jadi, belum kejadian (digunakan),” kata Taufik (Kompas.com).Karena belum digunakan, kata Taufik, tak ada indikasi anggota DPRD DKI akan bersalah kalaupun dugaan itu benar.
Tulisan ini sebagai suplemen dari artikel rekan Daniel yang turut menegaskan bahwa niat melakukan perbuatan korupsi dapat dipidana. Agar tidak terjadi kesalahpahaman membaca artikel ini –sebagaimana yang terjadi pada artikel-artikel saya sebelumnya atas komentar yang diberikan oleh rekan-rekan kompasioner, topik tulisan ini terwakili dari judul artikel. Tulisan ini tidak membahas peristiwa konkrit. Peristiwa konkrit ditautkan sebagai contoh untuk memberi penerangan atas pendapat hukum yang saya sampaikan.
Pernyataaan M.Taufik di atas menandaskan bahwa seseorang tidak bisa dianggap bersalah karena perbuatan belum terjadi atau perbuatan belum selesai (post factum). Benarkah demikian?. Karena tulisan ini menyangkut tindak pidana korupsi, saya akan menggunakan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) secara khusus dan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) secara umum.
Apa yang dinyatakan M.Taufik benar adanya jika merujuk pada Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya dirisendiri atau orang lain…”. Frasa “melakukan perbuatan” diasumsikan bahwa perbuatan tersebut sudah dilakukan dan sudah selesai. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 KUHP bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana.
Namun, M.Taufik lupa bahwa ada Pasal 3 UU Tipikor yang kutipan sebagian isinya “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain…”. Norma dalam Pasal ini bersandar pada teori kesengajaan bersifat tujuan (oogmerk). Kesengajaan yang bersifat tujuan ini, dapat dikatakan bahwa si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakan ancaman hukuman pidana (constitutief gevold). Akibat “menguntungkan diri sendiri atau orang lain” oleh si pelaku hanya dapat dibayangkan atau digambarkan akan terjadi (voorstellen).
Istilah sengaja (dolus) dalam KUHP dapat kita temui dengan penggunaan istilah yang berbeda namun makna yang terkandung adalah sama. Istilah itu diantaranya : dengan sengaja, mengetahui tentang, dengan maksud (oogmerk), niat (voornemen), dan dengan rencana lebih dahulu (met voorbedachte rade). Dalam Pasal 3 UU Tipikor menggunakan istilah dengan tujuan. Rekan Daniel H.t merujuk pada Pasal 53 KUHP perihal Niat (voornemen) dimana hal ini terdapat didalam percobaan atau poging. Tetapi saya lebih memilih menggunakan Pasal 3 dan Pasal 15 UU Tipikor yang bersifat khusus, meski memiliki makna yang sama antara “niat” (voornemen) dalam Pasal 53 KUHP dan “dengan tujuan” (oogmerk) dalam Pasal 3 UU Tipikor. Yang pada pokoknya menandaskan bahwa seseorang bisa dikenakan pidana, meski perbuatan belum selesai dan baru sebatas niat.
Sikap batin yang menunjukan tingkatan dari kesengajaan ditandai dengan kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu tujuan (dolus directus).Dalam hal ini pelaku bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang. Dalam doktrin ilmu hukum pidana istilah dolus directus ialahkesengajaan tidak hanya ditujukan kepada perbuatannya, tetapi juga kepada akibat perbuatannya. Kesengajaan untuk “menguntungkan diri sendiri atau orang lain”.
Sementara rekan Daniel H.t menggunakan Pasal 53 KUHP dapat juga diterapkan dalam pengertian umum. Dimana terpenuhinya unsur-unsur dalam tindak pidana percobaan atau poging, yaitu (1) adanya niat; (2) adanya perbuatan permulaan (begin van uitvoering); (3) perbuatan tersebut tidak selesai atau tujuan tidak tercapai dan (4) tidak selesainya perbuatan tersebut bukan karena kehendaknya sendiri. Ilustrasi tindak pidana percobaan yang berakibat adanya delik pencurian, pernah diutarakan oleh beberapa rekan kompasioner. Seorang pencuri yang kepergok tuan rumah. Perbuatan tidak selesai untuk “memiliki barang yang bukan miliknya”, namun tindak pidana percobaan atau poging sudah terpenuhi.
Pasal 53 KUHP yang dikutip oleh rekan Daniel H,t, mirip dengan norma dalam Pasal 15 UU Tipikor “ Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untukmelakukan tindak pidana korupsi …”. Dimana dapat menjerat setiap orang yang melakukan percobaan atau poging.
Niat menurut Moeljatno dalam Adami Chazawi ”adalah sikap batin seseorang yang memberi arah kepada apa yang akan diperbuatnya”. Sedangkan menurut Memori Penjelasan KUHP Belanda (MvT) niat sama dengan kehendak atau maksud. Jadi Permulaan pelaksanaan (uitvoeringshandelingen) dari kejahatan itu harus didasari dengan niat karena yang dimaksud permulaan pelaksanaan perbuatan adalah tindakan-tindakan yangmempunyai hubungan sedemikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untukdilakukan dan telah dimulai dengan pelaksanaannya. Hal ini selaras dengan teori kehendak (wilstheorie) dan teori bayangan (voorstellings-theorie).
Jadi dalam Pasal 3 UU Tipikor yang harus dibuktikan tiga unsur: (1) apakah ada niat untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain; (2) apakah ada perbuatan permulaan dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau yang ada padanya karena jabtan atau kedudukannya; (3) apakah niat dan perbuatan permulaan itu akan berakibat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Tiga unsur tersebut terlepas dari apakah perbuatan tindak pidana korupsi tidak selesai/ tidak terjadi atau tujuan tidak tercapai. Sebab Pasal 3 UU Tipikor khusus menjerat pelaku tindak pidana korupsi pada tataran “niat”. Sedangkan perbuatan tindak pidana yang selesai sudah diatur dalam Pasal 2 UU Tipikor.
Bagaimana jika perbuatan tindak pidana korupsi telah selesai, terjadi dan dilaksanakan. Untuk terdakwa yang pada awal perencanaan memberi usulan atau sudah punya niat atas rencana kejahatan tersebut, biasanya Jaksa Penuntut Umum mengenakan dakwaan pasal berlapis. Selain terjerat Pasal 2 UU Tipikor, dakwaan subsidair menyertakan juga Pasal 3 UU Tipikor junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penyertaan.
Kesimpulan tulisan ini bahwa niat melakukan perbuatan korupsi dapat dipidana dengan ancaman hukuman paling lama penjara seumur hidup sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 3 jo Pasal 15 UU Tipikor.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H