Lihat ke Halaman Asli

HENDRA BUDIMAN

TERVERIFIKASI

Swasta

Belajar dari Sidang MK

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sengaja saya menempatkan tulisan ini di kanal Edukasi. Tidak di kanal Politik. Bukan pula di kanal Hukum. Meskipun tema sengketa Pilpres yang tengah berlangsung di MK saat ini,penuh muatan politik dan hukum. Kita ingin peristiwa politik ini menjadi pembelajaran berharga. Ada hikmah terkandung di dalamnya. Dan sekaligus memberi pembelajaran politik untuk kita semua.

Sikap kepedulian warga khususnya nitizen dalam Pilpres kali ini, patut diapresiasi. Belum pernah terjadi dalam peristiwa electoral, masyarakat begitu antusias dan turut aktif. Masyarakat terlibat dan terjun dalam politik praktis. Yang sebelumnya apriori. Saling debat dan hujat, silang sengketa hanya konsekwensi logis saja dari keterlibatan itu. Tak perlu dirisaukan. Inilah fase dalam pembentukan sikap pendewasaan politik warga.

Jika tidak terlibat dan peduli, mungkin hanya kalangan ahli hukum saja yang mengetahui kata “Terstruktur, Sistematis dan Masif”. Dan kosa kata dalam teknis penyelenggaraan Pemilu seperti: formulir C1, C7, C2, A5; PPL, sistem noken, rekapitulasi, PPL, distrik, dst… sudah bukan monopoli orang-orang KPU saja. Demikian juga kosa kata seperti pemohon, pihak terkait, dalil, saksi, pembuktian, 9 hakim MK, dst… sudah mulai familiar dilafalkan.

Ada satu hal yang ingin saya kemukakan, dalam “pertempuran” ini. Hikmah yang harus diambil bagi pihak-pihak yang nantinya akan terus melanjutkan pertempuran politik, buatlah opsi atau skenario “kalah”.

Acap kali ketika saya sampaikan ini kepada beberapa kandidat Bupati atau Gubernur yang akan maju dalam Pilkada. Justru ditertawakan. Meskipun pada akhirnya, diakui sebagai kebenaran setelah semuanya terlambat. Saya menganalogikan seperti pertandingan sepakbola. Benar bahwa kita mesti menyusun siasat menyerang, tapi pertahanan juga mesti diperhatikan. Benar, tidak semua orang ingin kalah, tapi harus disiapkan jika memang pada akhirnya kalah atau dikalahkan.

Dengan membuat opsi atau skenario “kalah”, tim akan lebih siap dan waspada. Tidak memandang remeh lawan, dan tidak besar kepala bila saat ini di atas angin. Kesiapsiagaan dibutuhkan dalam pertempuran. Segala kemungkinan bisa saja terjadi.

Beberapa hal yang harus disiapkan dalam skenario “kalah”:

1.Asumsi: KPU akan bertindak curang dan berpihak pada lawan.

Komisioner KPU juga manusia. Bukan malaikat. Kebutuhan jangka pendek akan mempengaruhi kepentingannya. Sekecil apapun yang dilakukan oleh KPU, tidak bisa luput dari perhatian. Menguasai medan pertempuran di wilayah KPU ini, menjadi sarat pertama. Jangan menuding KPU telah disusupi oleh pihak lawan, kalau kita tidak pernah berupaya menempatkan “orang kita” di KPU. Ini politik, bung!.Artinya semua aturan, mekanisme, prosedur dan segala hal yang bersangkutpaut dengan “pertempuran” harus menjadi perhatian. Dan tentu harus ada tindakan yang terencana.

Misalnya tentang penentuan jadwal dan tahapan Pemilu atau Pilkada. Sebelum hal ini ditetapkan KPU, masih ada ruang untuk memasukan kepentingan kita. Toh, KPU membuka diri, dengan konsultasi publik untuk adanya perbaikan dan koreksi. Jangan menjadi pecundang, setelah kita kalah baru mempersoalkan jadwal dan tahapan. Telat.

Semua tahapan harus menjadi perhatian. Dari penyusunan Daftar Pemilih Sementara (DPS), pencetakan formulir dan surat suara, penentuan jadwal kampanye, rekruitmen PPS dan KPPS, distribusi logistik, sistem IT, undian pencabutan nomor, verifikasi aktual dan administrasi, dst… Tapi hal ini akan luput, jika kita tidak menempatkan KPU sebagai syarat penguasaan medan pertempuran. Ketika kalah, baru teriak, pemilih ganda, C1 palsu, TPS fiktif, petugas KPPS yang berpihak. Sudah terlambat !.

2.Membangun sekutu dengan Panwas/ Bawaslu.

Bila kita berasumsi bahwa KPU akan cenderung berbuat curang, maka sekutu yang bisa dibangun (juga) adalah Panwas/ Bawaslu.Sejak Pemilu 2014 ini, posisi Panwas atau Bawaslu lebih independen dan tidak lagi dibawah naungan KPU. Bahkan dibeberap tempat KPU dan Panwas seperti seteru. Ada kecenderungan anggota Panwas, ingin disejajarkan dengan KPU. Ingin dihormati dan dihargai. Justru peluang ini yang harus dimanfaatkan. Menjadikan Panwas jadi sekutu.

Jika kita perhatikan semua persidangan di MK. Putusan MK pada beberapa Pilkada yang dianulir karena hakim MK lebih mempertimbangkan masukan dari Panwaslu. Sebagai lembaga negara yang sah, pernyataan Panwas lebih memiliki bobot hukum yang kuat. Tapi sebaliknya, meskipun kita menggugat KPU dengan pelbagai dalih dan disertai bukti, jika Panwas tidak mendukung, sulit untuk memenangkan perkara. Hal ini terjadi saat ini, dimana kubu Prabowo justru ikut menyerang Bawaslu. Siasat yang merugikan diri sendiri.

3.Laporkan kecurangan sekecil apapun dan sedini mungkin.

Sekecil apapun peristiwa yang kita anggap sebagai kecurangan, baik dilakukan lawan atau penyelenggara, harus dilaporkan ke Panwas segera. Meskipun hari pemilihan masih lama. Tak perlu mempedulikan hasil. Apakah laporan itu ditindaklanjuti atau tidak. Yang penting prosedur sudah dijalankan. Alat bukti yang kita butuhkan hanya surat keterangan dari Panwas atas laporan kita.

Dalam perkara di MK, hakim hanya menanyakan tanggal berapa kita melaporkan kejadian peristiwa kecurangan. Rata-rata pihak yang kalah, baru tergopoh-gopoh melaporkan kecurangan ke Panwas, setelah pemungutan suara usai. Hakim sudah punya jawaban atas ini. “Kenapa sudah tahu kalah baru lapor”.

4.Perkuat kemampuan saksi

Dalam beberapa kesempatan training saksi, saya selalu katakan, bahwa saksi bukan tukang catat atau tukang lapor. Saya justru menekankan bahwa saksi harus punya keberanian melakukan protes. Tak terlampau penting urusan mencatat. Toh formulir C1 resmi akan didapatkan juga dari KPPS.Justru saya melatih saksi, untuk belajar mencermati modus-modus kecurangan. Dan melatih diri membuat laporan keberatan di formulir C2. Terutama untuk saksi di TPS dan Kecamatan-kecamatan.

Coba perhatikan pertaanyaan hakim MK kepada saksi. Selalu keluar pertanyaan, “apakah saksi saudara mengajukan keberatan di TPS itu”. Jika kita jawab, “tidak”. Sudahlah, sudah kita bisa duga putusan MK kelak.

Kualifikasi saksi (TPS) juga mesti diperhatikan. Upayakan saksi yang berasal dari desa/ kelurahan di TPS itu. Memang dari sisi pendidikan dan kepandaian, kalah jauh dengan mahasiswa dari kota yang kita tempatkan di TPS. Tapi justru banyak kerugiannya. Dengan saksi yang berasal dari desa setempat, dia tau siapa saja warga dan pemilih di TPS itu, tanpa harus melihat DPT. Dia mengenal karakter dan kondisi di wilayah itu. Tak bakal ada saksi yang ditekan, diteror atau diusir oleh preman setempat kalau memang berasal dari wilayah itu.

Masih ada beberapa hal yang bisa kita pelajari. Tapi lebih baik, teman-teman sendiri yang menarik pembelajarannya dengan menyimak jalannya sengketa Pilpres di MK saat ini. Termasuk mempelajari bagaimana mempersiapkan gugatan ke DKPP, berkaitan dengan pelanggaran etik penyelenggara Pemilu.

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline