Lihat ke Halaman Asli

HENDRA BUDIMAN

TERVERIFIKASI

Swasta

Dasar PKI !

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Siapapun akan tersengat bila diumpat “PKI”. Kecuali Dr. Ribka Tjiptaning, anggota DPR terhormat dari PDIP. Tanpa tedeng aling-aling, buku yang dia tulis semacam deklarasi, “Aku Bangga jadi Anak PKI”. Meski begitu, Tjiptaning memberi pagar hanya sebatas “anak PKI”. Mungkin saja, Tjiptaning tahu, zaman yang penuh kehebohan saat ini, tidak mengenal lagi dosa turunan. Walau tetangga samping rumah saja, masih saja mengidap sindrome dosa turunan. Kalau Bapaknya PKI, anak juga PKI.

Sindrome dosa turunan, seperti penyakit flu yang gampang menular. Sudah begitu, tak ada serum ampuh yang bisa mengobatinya. Nasihat, himbauan, ceramah hanya sebatas mengurangi drajat kesakitan, bukan mengobati tuntas. Epidemik macam begini, tak mengenal kasta dan kelas. Siapapun bisa terhinggap.

Dan tidak hanya tertuju pada PKI saja. Apa saja yang dinilai sebagai kejahatan, diyakini akan membawa unsur genetik pada anak turunan. Kalau bapaknya maling, anaknya maling juga. Kenapa seorang Caleg anak koruptor bisa dipercaya dan lolos dalam Pemilu. Padahal Bapaknya jelas-jelas koruptor. Ada semacam keyakinan, Bapak Koruptor, pastilah anakpun demikian.

Pada hal semacam ini, saya sungguh takjub dengan pekerjaan Orde Baru dibawah komando Presiden Suharto. Mampu menyebarluaskan sindrome dosa turunan pada seluruh rakyat. Demagagogi yang ditanamkan di kepala, begitu ampuh dan membekas sampai sekarang. Kemampuan untuk mencangkokan konstruksi sosial di otak dan tersimpan di alam bawah sadar. Ujung-ujunganya sindrome dianggap suatu yang benar dan lumrah. Sudah seperti layaknya harus demikian.

Dahulu, para pegawai harus melewati Litsus. Jangan harap, anak PKI bisa mendapat pekerjaan. KTP diberi tanda khusus, seperti layaknya para pesakitan. Hukuman telah dijatuhkan tanpa pengadilan. Kalau Bapakmu PKI, kamu juga PKI. Tidak bersih lingkungan istilahnya. Percobaan politik teramat dahsyat. Dimana urusan politik dijelmakan menjadi nilai-nilai sosial yang patut dan layak diyakini. Kejahatan politik terumuskan dalam sindrome dosa turunan.

Orde Baru tak mau tahu, anak yang lahir kemarin sore atau sudah brewokan, tetap harus diwaspadai pembawa gen PKI dalam darahnya. Sayapun mengalaminya. Seperti biasa, sehabis demostrasi dan ditangkap, tahap selanjutnya introgasi. Pertanyaan berulang yang sering ditujukan ke saya saat introgasi, “Saudara ada dimana saat peristiwa G30S PKI?” Tentu saja jawabannya pun sama, “saya belum lahir”. Seperti tak pernah bosan, berulang pertanyaan itu ditujukan kalau saya ketangkap dan diintrogasi lagi. Ada semacam teror psikis.

Sanking hebatnya, kosa kata PKI bukan lagi singkatan dari Partai Komunis Indonesia. PKI ya PKI. Mahluk laknat embah buyutnya setan. PKI menjadi umpatan, hinaan dan cemooh. Bahkan drajatnya lebih rendah ketimbang setan, maling atau koruptor. Orang masih bisa lebih menerima diumpat “Dasar Setan”, ketimbang “Dasar PKI”. Dalam hidup keseharian, kerap kita menjumpai umpatan macam ini. Teman saya yang marah, karena anaknya kalah berkelahi dengan anak tetangganya, bersungut-sungut dan mengumpat “Dasar PKI”. Hanya karena adu permainan kelereng dan kalah, keluar sumpah serapah “Dasar PKI”. Sulit merasionalisasikan, antara permainan kelereng anak-anak usia 8 tahun dengan Partai Komunis Indonesia.

Di Kompasiana pernah saya temui tulisan “Persamaan PKI dan PKS”. Ditulis setahun lalu oleh Budi Pasopati. Dari komentar-komentar yang saya baca, para pendukung dan kader PKS langsung beraksi berlebihan. Padahal isi tulisan itu tidak menjelekan apapun baik PKI maupun PKS. Tidak ada hinaan pada tulisan Budi Pasopati itu. Tapi sekali lagi, karena ada tertera kata “PKI”, segalanya jadi runyam. Mungkin saja kader PKS masih lebih merima disematkan umpatan setan, kafir, atau teroris. Tapi PKI, nanti dulu. Masih mending disebut keturunan Abu lahap timbang disebut PKI. Bisa panjang urusannya.

Inilah kemampuan demagogi bentuk teror negara kepada warganya. Jika diajukan ke MK, oh pasti terpenuhi unsur Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM). Satu ciri negara otoriter bernama Orde Baru, yang terus menerus mencurigai warganya, Dan menanamkan dogma ke otak setiap warga negaranya. Bila dogma politik itu sudah menjelma menjadi nilai sosial yang diyakini warga,maka berhasilah upaya negara ini.

Bisa kita bandingkan dengan stigma “koruptor”. Jelas bentuk kejahatan yang amat sangat menjijikan. Dalam kitab suci apapun, dalam kitab hukum apapun, yang namanya maling besar tetap dianggap kejahatan. Tidak ada pembenaran dalil untuk mengesahkan perbuatan keji ini. Tapi apa lacur? Seorang yang dituduh “koruptor”, masih bisa tersenyum di depan televisi. Sementara maling sandal saja, tertunduk malu jika disorot kamera. Tertuduh koruptor mendapat pembelaan habis-habisan dengan berlindung pada asas praduga tak bersalah. Dan lebih menjijikan lagi, mantan koruptor yang sudah bebas, disambut dengan riang gembira oleh keluarga dan handai tolan. Kontras dengan mantan napi pemerkosa, yang tidak diakui anak lagi oleh Bapaknya.

Stigma, cap, label dapat saja ditujukan pada siapapun dengan ragam penyebutan. Pokoknya semua yang berbau jahat dan haram. Dari sebutan koruptor, kafir, maling, setan, provokator, teroris atau apa saja. Masih bisa ditolerir. Asal tidak menyinggung satu hal: PKI. Sebutan durjana sehina-hinanya melebihi perbuatan syirik. Walau begitu, ada saja yang mau mencoba merobohkan tembok besar (dekonstruksi). Ada teman saya berkata, “saya lebih baik disebut PKI ketimbang PKS”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline