Lihat ke Halaman Asli

HENDRA BUDIMAN

TERVERIFIKASI

Swasta

Semua Parpol Sama Saja

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sungguh saya tidak tertarik dengan isu perebutan kursi pimpinan DPR/MPR. Biarlah itu urusan masing-masing partai di senayan sana. Bagi saya, semua partai politik sama saja. Tak ada perbedaan yang prinsip diantaranya. Apakah yang menang kubu KMP atau KIH, tak ada pengaruhnya buat kepentingan rakyat kebanyakan. Ada dua alasan: pertama, pertarungan antar kubu itu sifatnya sementara, taktis dan jangka pendek. Kedua, karakter partai politik yang ada sekarang sama saja, tak ada bedanya.

Tak bisa dipungkiri pembentukan koalisi di parlemen tercipta akibat peristiwa Pilpres Juli 2014. Hanya reaksi spontan dari satu peristiwa. Oleh karena itu sulit kita menemukan titik temu stategis dan ideologis dari koalisi yang dibangun tersebut. Bagaimana bisa menjelaskan adanya pertautan antara Gerindra dan PKS, misalnya. Dimana asas dan platform dari masing-masing partai berbeda. Atau antara PDIP dan PKB dipihak lain. Jika kemudian diberi alas pembenar seperti terbentuknya front nasional dulu antara PNI dan NU, hanya sekedar alasan yang dicari-cari. Karena memang pada dasarnya tidak ada pedoman baku bagi terbentuknya koalisi-koalisi itu. Sewaktu-waktu dengan mudah para anggota koalisi melompat dari kubu satu ke kubu yang lain. Tergantung situasi jangka pendek mengakomodasi kepentingan. Lebih tragis lagi kepentingan para pimpinan partai.

Ambil contohnya saat pembahasan RUU Pilkada. Saat pembahasan isyu mekanisme pemilihan langsung dan tidak langsung, terbelah menjadi dua kubu. Dan hal ini yang menjadi sorotan publik. Namun, ketika membahas topik Politik Dinasti sebagai salah satu syarat calon kepala daerah, PDIP dan Golkar berada dalam pihak yang sama, menolaknya. Sedangkan PKB dan Hanura, bersama dengan fraksi lain yang bersebrangan, mendukung adanya persyaratan politik dinasti. Termasuk ketika fraksi-fraksi membahas RUU DOB (Daerah Otonomi Baru). Konfigurasi koalisi yang dianggap bersebrangan secara diametral, tidak tampak lagi. Penundaan pembahasan RUU DOB, datang dari fraksi PAN, PDIP, PKB dan Golkar. Padahal pembahasan RUU DOB dilakukan pada tanggal 29 September 2014, setelah pertarungan sengit RUU Pilkada sebelumnya.

Sehingga apapun yang terjadi hari ini dan nanti, saya tak melihatnya sebagai pertarungan yang abadi antar kedua kubu. Mereka berdalih, politik itu dinamis dan fleksibel. Justru dengan pengertian tersebut, sikap dan pilihan yang diambil semata pada pertimbangan jangka pendek, taktis dan terakomodasinya kepentingan. Tak lebih, tak kurang. Slogan-slogan seperti Pancasila, Konstitusi, dan atas nama rakyat dipergunakan sebagai dalih dan pembenaran semata. Agar publik memberi dukungan dan tak tercampakan. Karena dasar atas sikap, posisi dan pilihan bukan berlandaskan pada argumen yang fundamental tersebut. Sikap, posisi dan pilihan ditentukan oleh lobi para pimpinan partai di hotel berbintang, di rumah pribadi dan di markas partai. Didasarkan pada tawar menawar kepentingan: saya dapat apa, dan kamu dapat apa. Selesai. Lalu pertanyaannya rakyat sang pembayar pajak, dapat apa?

Jika saya bersikukuh dengan pelbagai argumen untuk menentang opsi pemilihan kepala daerah lewat DPRD, karena kepentingan saya dirampas. Secara nyata dibajak. Hak pilih saya dilimpahkan kepada para politisi di DPRD. Maka saya turut serta untuk mempengaruhi opini publik, sebagai bentuk kependulian dan mempertahankan hak yang saya miliki. Tak ada kaitannya sikap saya dengan KIH yang mendukung opsi tersebut. Jika situasinya dibalik, KMP mendukung opsi itu, tentu saya akan berada di kubu KMP. Tapi, urusan pemilihan pimpinan DPR/MPR, tak ada sangkutpautnya dengan hak dan kepentingan saya disana. Tidak ada jaminan jika Puan Maharani jadi ketua DPR akan lebih baik daripada Setya Novanto. Toh, sama saja baik di PDIP maupun Golkar, rakyat tidak punya kanal untuk ikut mempengaruhi kebijakan yang telah diambil oleh pimpinan partai.

Seperti yang saya katakan diatas, semua partai politik yang ada sekarang, memiliki karakter politik yang sama. Dapat kita telisik. Pendapat umum fraksi yang berujung pada sikap yang diambil lebih banyak dipengaruhi oleh para pimpinan Partai. Lebih sadis lagi, ditentukan oleh ketua umum partai. Kata Hatta Rajasa atau Amin Rais A, semua anggota DPR fraksi PAN membebek mengikuti. Kata SBY B, semua fraksi Demokrat harus turut. Demikian juga dengan Surya Paloh, Megawati, Wiranto, Hilmi Amiludin, dan pimpinan lainnya. Bahkan anggota DPR tak punya kemampuan yang otonom untuk memutus berdasarkan pikirannya sendiri. Jika anggota DPR itu saja dijauhkan dari pengambilankeputusan, apalagi dengan konstituen atau rakyat yang memilihnya.

Partai politik tak ubahnya kumpulan para oligarki yang mengejar kuasa dan harta demi kemaslahatan diri, kelompok dan partai masing-masing. Kemarahan Aburizal Bakrie atau Hatta Rajasa pada Jokowi karena sumber-sumber bancakan di kementrian ESDM, Pertamina dan Dirjen Pajak tidak diberikan padanya. Menjadi geram karena Jokowi akan menuntaskan mafia Migas dan dilimpahkan kepada klan Rini Suwandi sebagai pihak yang bersebrangan kepentingan. Demikian juga dengan PKS. Bila saja Jokowi tetap memberikan jatah kementrian Pertanian yang sudah diklaim milik PKS sejak zaman Menteri Anton dulu, saya yakin PKS tidak akan bersebrangan dengan PDIP. Lihat saja, ketika para relawan Jokowi yang non-partisan ingin semua kementrian diisi oleh kalangan profesional dan ahli, jauh dari keterlibatan politisi, mendapat halauan dan tantangan dari PDIP dan PKB. Kepentingan para oligarki tak lebih dari mengejar konsesi, memburu rente dan penguasaan aset.

Karakter partai politik seperti ini memang sudah terbentuk sejak zaman Orde Baru. Saat rakyat dimadulkan, dijauhkan dari kehidupan politik, mematikan asosiasi gerakan sosial, partai tak lebih dari sekedar ornamen dan pengembira Pemilu. Jangan diperbandingkan karakter partai politik saat ini dengan yang ada di negara-negara demokratis lain seperti Jerman, Inggris, Perancis, Australia atau Amerika Serikat. Atau diperbandingkan dengan karakter partai politik zaman Orde Lama di bawah Sukarno dulu.

Partai politik hanya sebagai trompet dari kepentingan kaum oligarki. Tersimpan agenda mengejar harta dan kuasa untuk para elitnya. Kelakuan macam initerjadi di semua partai. Jadi sulit kita membedakan karakter antara Nasdem dan Gerindra misalnya. Sebagaimana dahulu orang dengan mudah bisa membedakan politisi NU dan Masyumi. Dari cara berpikir, berpakaian, simbol yang dipergunakan, slogan hingga agenda politik yang disuarakan dari masing-masing konstituen. Dengan basis yang jelas dan terang, tak pernah NU bisa menang di Sumatera Barat. Sebaliknya Masyumi tak pernah jadi saluran politik bagi warga nahdiyin di Jawa Timur. Walaupun sama-sama berciri partai Islam, gagasan dan pemikiran KH Idham Khalid sangat jauh dengan pemikiran Natsir. Lalu adakah yang membedakan antara Cak Imin dan Amin Rais memandang bangsa ini dengan platform masing-masing partainya?

Mereka semua sama tabiat srigalanya ketika mengejar kuasa dan harta. Tak peduli sembah sujud setiap saat di atas sajadah, bila peluang terbuka, korupsi dilakukan juga. Sikap apriori rakyat terhadap partai politik dan tabiat politisi ditunjukan dengan kecendrungan memilih orang (figur) ketimbang partainya. Tak peduli, apapun partainya. Jika sesuai dengan prefrensinya, rakyat memilih figur itu. Bagi rakyat kebanyakan, semua partai sama saja. Ramai menjelang Pemilu dan Pilkada. Kantor menjadi sepi sesudahnya. Seakan penyerapan aspirasi hanya sebatas Pemilu dan Pilkada. Partai-partai yang terpelanting dan tidak mendapat kursi di parlemen, tutup dengan sendirinya. Jadi apa sebenarnya motif orang membangun partai?

Gejala maraknya gerakan ekstra parlementer menunjukan partai dianggap bukan lagi sebagai saluran untuk meng-agregasi aspirasi dan agenda politik warga. Contohnya demo FPI di depan gedung DPRD Jakarta. Kenapa anggota FPI tidak percaya pada partai-partai di gedung itu (yang mungkin mereka pilih saat Pemilu) dapat memperjuangkan aspirasinya. Ramainya petisi, aksi damai, gerakan netizen di media sosial mengapa tensinya semakin meningkat? Apakah mereka tidak percaya kepada partai politik yang dapat mengusung agenda politik di gedung parlemen. Reaksi takyat tak bisa disalahkan. Ini suatu akibat dari prilaku politisi yang secara nyata tak mampu memperjuangkan aspirasi di parlemen. Terdapat jurang lebar antara rakyat di sisi lain dengan partai politik diseberangnya. Pemilu yang dianggap dapat menjadi jembatan untuk mengatasi jurang itu, telah gagal. Pemilu hanya menjadi ajang kompetisi para caleg dan berupaya memobilisasi dukungan dengan pelbagai cara. Rakyat diartikan sebatas angka-angka statistik yang mati. Angka-angka itu kemudian dimaknai sebagai perwujudan demokrasi prosedural. Tak hirau lagi jika angka-angka itu penuh dengan muatan tuntutan upah layak, sekolah gratis, perlindungan hak politik, pemberian subsidi pupuk, jaminan keamanan, penghargaan terhadap masyarakat adat, dan lain sebagainya. Maka jangan terlampu heran jika demokrasi prosedural yang telah ditempuh dengan baik namun diwaktu yang bersamaan munculnya gerakan ekstra parlementer (atau parlemen jalanan) dari rakyat.

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline