Lihat ke Halaman Asli

HENDRA BUDIMAN

TERVERIFIKASI

Swasta

Golkar Jeli Memilih Komisi di DPR

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam sistem pemerintahan Presidensial, seberapa besar kekuasaan yang dimiliki oleh DPR?. Secara teoritik dapat dijawab dengan mudah. Tiga kekuasaan DPR dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Namun Indonesia hari ini, tidak murni menerapkan sistem pemerintahan Presidensial. Tidak secara tegas melakukan pemisahaan kekuasaan antara cabang eksekutif dan cabang legislatif. Di luar tiga fungsi tersebut, DPR ikutserta dalam menentukan pejabat negara. Satu-satunya kewenangan Presiden yang mutlak dalam menentukan pejabat negara, hanya mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri. Hak mutlak Presiden tanpa konsultasi atau persetujuan DPR. Selebihnya pengangkatan dan pemberhentian pejabat negara harus meminta persetujuan atau konsultasi DPR. Bahkan diantaranya dipilih langsung oleh DPR.

DPR yang dimaksud adalah alat kelengkapan yang bernama Komisi. Komisi adalah dapur utama dan jantung dari DPR. Seluruh denyut nadi dan pertarungan politik selama satu periode pemerintahan berlangsung dalam komisi. Bahkan dapat dikatakan kekuasaan Komisi lebih besar daripada wakil ketua DPR sebagai simbol lembaga itu. Terkadang direduksi sebatas sebagai pimpinan rapat paripurna dan humas DPR yang menjadi juru bicara di media massa. Pertarungan politik sejati berada di komisi-komisi. Saya tak terlampau yakin, jika perebutan pimpinan komisi-komisi dan Banggar di DPR hanya terbentuk dua polarisasi kubu KMP dan KIH. Karena masing-masing partai atau fraksi memiliki kepentingan yang sama merebut dan menduduki komisi “mata air” dan menjauh dari komisi “air mata”.

Sudah jauh-jauh hari partai Golkar lewat Bambang Soesatyo sudah mengatakan Golkar akan mengambil ketua komisi ‘mata air’ yakni komisi II, III, VII dan Banggar (sumber). Diperkuat dengan pernyataan Rambe Kamarul Zaman (sumber). Bila ada pernyataan politik dari KMP yang tak ingin melakukan sapu bersih dengan memberi jatah kepada PDIP, dugaan saya pimpinan komisi yang akan diberikan adalah komisi ‘air mata’ seperti komisi VIII. Bisa kita perbandingkan dua komisi ‘mata air’ dan komisi ‘air mata’ ini.

Dalam menentukan pejabat negara, Komisi II berwenang melakukan pemilihan anggota KPU melalui fit and proper test. Presiden melalui Panitia Tim Seleksi mengajukan nama-nama calon anggota KPU ke Komisi II. Selanjutnya DPR melakukan pemilihan melalui fit and proper test. Tentu saja tendensi politik dalam proses pemilihan akan ikut mempengaruhi. Anggota KPU terpilih tak bisa dilepaskan dari tarik menarik kepentingan politik yang diputuskan dalam Komisi II. Sebagaimana kita ketahui KPU (Nasional) memiliki wewenang untuk memilih anggota KPU Provinsi. Dan KPU Provinsi memiliki wewenang untuk memilih anggota KPU Kabupaten/Kota.Hanya melalui pengusaan pimpinan di Komisi II di DPR, partai politik dominan sudah bisa membangun infrastruktur politik lewat intervensi pada pemilihan anggota KPU untuk kepentingan Pilpres, Pilkada dan Pemilu akan datang. Termasuk kewenangan komisi II untuk menentukan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Komisi II dengan mitra kerja seperti Kementerian Dalam Negeri, Menteri Sekretaris Negara, Sekretaris Kabinet atau Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), dapat mengetahui lebih dalam kebijakan-kebijakan strategis yang diambil dan akan diambil oleh Presiden. Dengan sewaktu-waktu memanggil kementrian terkait untuk melakukan Rapat Kerja atau Rapat Dengar Pendapat. Seperti diketahui khalayak, kementrian dalam negeri saat lalu yang memiliki kewenangan mengambil kebijakan soal Pilkada, Pemerintahan Daerah sampai pembentukan daerah otonomi baru (pemekaran). Hubungan Gubernur, Bupati dan Walikota dibawah koordinasi Kemendagri. Demikian juga dalam menjalankan fungsi anggaran. Komisi II melalui panitia anggaran dan Pokja, sangat menentukan pagu anggaran (indikatif dan definitif). Bagi politisi dan partai politik, komisi II bernilai strategis dalam membangun infrastruktur politik hingga kabupaten/ kota.

Bila Komisi II bernilai strategis dalam membangun infrastruktur politik, maka Komisi III, bernilai stategis dalam penegakan hukum. Dalam penentuan pejabat negara, Komisi III memiliki kekuasaan yang teramat besar. Ikut menentukan jabatan Kapolri, anggota KPK, anggota KomnasHam, tiga orang hakim konstitusi, hakim agung, anggota Komisi Yudisial, anggota Komisi LPSK, hingga PPATK. Pada hal ini saja dapat kita lihat lembaga Yudikatif tidak bersifat mandiri. Proses rekruitmen aparatur hukum turut dipengaruhi oleh kepentingan politik di Komisi II. Bila diperbandingkan dengan kekuasaan eksekutif, Presiden tidak terlibat terlampau jauh dalam menentukan aparatur hukum tersebut. Presiden sebatas membentuk tim seleksi independen yang menyaring para calon aparatur hukum. Sedangkan DPR lewat anggota di Komisi II terlibat memilih langsung (konsensus atau voting) untuk menentukan aparatur hukum itu. Bisa terjadi kesepakatan diam-diam atau ‘politik balas budi’ atas keterpilihan aparatus hukum kepada anggota / pimpinan Komisi II.

Komisi VII yang diincar oleh Golkar benar-benar komisi ‘mata air’. Komisi ini berkaitan dengan kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Badan Pengatur Kegiatan Hilir Migas (BPH Migas). Sejak zaman Suharto, bidang ini (kementrian) dan Komisi VII tak terlepas dari genggaman Golkar. Boleh saja Presiden Jokowi memiliki hak prerogatif mengangkat Menteri ESDM, tapi jabatan dibawah Menteri seperti Sekjen, Dirjen dan Irjen tetap membutuhkan konsultasi DPR untuk mengangkat dan memberhentikannya. Komisi tidak sebatas melakukan Rapat Kerja dengan kementrian sebagai mitra kerja. Tetapi Komisi juga dapat melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan pihak-pihak Asosiasi/Perusahaan Swasta. Komisi VII dapat memanggil Dirut Pertamina (Non Departemen) atau memanggil perusahaan Newmont untuk melakukan RDP.

Saya ingin bercerita sejenak. Seorang kawan yang pernah duduk di Komisi VII bercerita bagaimana caranya mendapatkan THR menjelang lebaran. Sebagai anggota DPR, dia terkenal royal membagi-bagi THR kepada sanak kerabat menjelang lebaran tiba. Darimana sumbernya? Bila mengandalkan gaji tentu tidak cukup. Dia menceritakan satu siasat. Satu hari, pimpinan Komisi VII bicara kepada media massa dan mengatakan akan memanggil perusahaan X (saya tak sebut namanya) yang bergerak dibidang pertambangan batubara. Sebelumnya dicari dahulu celah kesalahan dari perusahaan itu. Bisa tidak membayar royalti atau tidak memenuhi standar Amdal. Data itu bisa didapat dari kalangan LSM, yang kadang lugu membeberkan hasil monitoring mereka. Pernyataan di media massa itu hanya gertak saja. Bukan sungguh-sungguh untuk memeriksa perusahaan X lewat RDP. Tak lama berselang, utusan dari perusahaan X datang menemui pimpinan komisi. Berharap RDP dibatalkan. Karena, perusahaan X yang sahamnya sudah go publik, seketika ada RDP, reaksi bursa saham akan negatif. Harga saham akan anjlok dan perusahaan akan merugi. Negosiasi dilakukan dengan kompensasi. RDP tidak dilakukan karena memang sekedar gertak. Beberapa anggota komisi VII (tidak semuanya) yang merancang skenario ini, mendapat kompensasi THR dari utusan perusahaan X tadi.

Bandingkan dengan komisi ‘air mata’, komisi VIII yang membidangi masalah Agama, Sosial dan Pemberdayaan Perempuan. Manfaat apa yang bisa diperoleh baik secara politik maupun ekonomi dengan mitra kerja seperti Badan Wakaf Indonesia (BWI) atau Badan Amil Zakat Nasonal (Baznas). Komisi ini memang kumpulan ‘nabi’ (tanda petik) yang bekerja untuk masalah-masalah sosial dan keagamaan. Terlebih jika terjadi bencana alam. Komisi VIII dengan mitra kerja Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) harus segera mengatasi masalah-masalah krusial kemasyarakatan.

Bagaimana dengan Komisi I ? Bukankah komisi ini juga strategis diantaranya memiliki kuasa dalam menentukan Panglima TNI. Sebagaimana Komisi II yang turut dalam menentukan Kapolri. Saya kira Golkar lebih jeli dalam pemilihan komisi. Ada perbedaan pengajuan usulan nama calon Panglima TNI dan calon Kapolri dari Presiden ke DPR. Soal calon Panglima TNI, Presiden hanya berwenang mengajukan satu nama calon. DPR tak punya pilihan lain. Jika menolak, Presiden akan mengajukan calon lain dikemudian hari juga hanya satu calon. Sedangkan calon Kapolri, dalam UU Kepolisian, tidak dijelaskan berapa nama calon yang harus diserahkan Presiden ke DPR. Artinya bisa lebih dari satu calon, dan membuat DPR bisa membuat pilihan dari calon-calon itu. Paling manfaat yang bisa diambil dari Komisi I ini bagi anggotanya, bisa lebih leluasa kunjungan kerja ke luar negeri. Satu bidang tugas menyangkut hubungan luar negeri menjadi bagian dari komisi I ini.

Salam Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline