Lihat ke Halaman Asli

HENDRA BUDIMAN

TERVERIFIKASI

Swasta

KPU Tertibkan Polling SMS

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14195056731077803804

[caption id="attachment_385963" align="aligncenter" width="624" caption="KOMPAS.com/DEYTRI ROBEKKA ARITONANG"][/caption]

Pemilihan Kepala Daerah (selanjutnya disebut Pilkada) baru akan dilaksanakan pada tahun 2015 atau kemungkinan diundur pada tahun 2016.Menjelang Pilkada tersebut, beberapa lembaga telah melakukan polling atau jajak pendapat calon-calon kepala daerah. Terutama dilakukan oleh media massa lokal. Melakukan polling dengan teknik pengumpulan data melalui SMS atau guntingan koran yang dikirimkan ke redaksi. Seharusnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi/Kabupaten/Kota melakukan penertiban. Tulisan ini juga dimaksudkan sebagai surat terbuka kepada komisioner KPU dimanapun berada.

Penertiban yang dimaksud adalah lembaga atau badan hukum yang melakukan polling tersebut harus ditetapkan terlebih dahulu oleh KPU sebagai lembaga yang dapat melaksanakan polling (vide Pasal 131 ayat (2) Perppu Nomor 1 Tahun 2014). Untuk ditetapkan, badan hukum tersebut wajib melaporkan status badan hukum atau surat keterangan terdaftar, susunan kepengurusan, sumber dana, alat, dan metodologi yang digunakan kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota (vide Pasal 131 ayat (1) Perppu 1 /2014). Bila komisioner KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota beralasan bahwa tata cara penetapan tersebut belum ada landasan hukumnya berupa Peraturan KPU, selekasnya Peraturan KPU tersebut diterbitkan.

Secara materi draft Peraturan KPU dapat mencontoh Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2013 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Tata cara dan persyaratan lembaga yang mendaftarakan diri ke KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dapat dilihat pada Pasal 22 PKPU No. 23/2013.

Jika komisioner KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota lalai dan tidak melakukan penertiban sebagaimana yang dimaksud di atas, maka komisioner KPU dianggap telah melanggar Pasal 11 huruf a Peraturan Bersama No. 13 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu: “Dalam melaksanakan asas kepastian hukum, Penyelenggara Pemilu berkewajiban: melakukan tindakan dalam rangka penyelenggaraan Pemilu yang secara tegas diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan”.

Selain daripada itu, sebelum KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan suatu lembaga yang dapat melakukan jajak pendapat, terlebih dahulu memeriksa penggunaan metode penelitian ilmiah yang dipergunakan. Khususnya metodologi pencuplikan data (sampling). Dalam konteks polling calon-calon kepala daerah yang diakukan oleh media massa lokal dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui SMS atau guntingan koran dapat dikatagorikan sebagai straw polls. Suatu survey tidak ilmiah karena tidak mempertimbangkan representasi populasi yang menjadi responden polling.Penentuan responden bersifat serampangan, dan terkadang hanya menggunakan sampel yang hanya merupakan bagian tertentu dari populasi.

Sebagai contoh, seorang responden dengan menggunakan teknologi SMS bomber dapat mengirimkan pendapatnya berulang-ulang tak terbatas. Poll semacam ini akan mempengaruhi hasil jajak pendapat atas calon-calon kepala daerah. Suara atau pendapat yang diperoleh seorang calon kepala daerah, misalnya 100 tidak mengambarkan representasi dari 100 responden. Demikian juga dengan teknik menggunakan guntingan koran yang dikirimkan kembali ke redaksi. Batasan populasipun menjadi kabur. 100 orang tim sukses yang berasal dari desa yang sama dengan jumlah penduduk 1000 orang, dapat mengalahkan suara 1 orang responden dari suatu desa yang jumlah penduduknya 5000 orang.

Oleh karena itu, beberapa kalangan surveyor menyatakan bahwa polling melalui SMS cenderung tidak memenuhi syarat, karena tidak memiliki reliabilitas dan validitas (kesahihan). Dua syarat utama yang harus dimiliki dalam metodologi survey ilmiah.Karena dipandang cacat secara ilmiah, hasil polling melalui SMS dianggap tidak mencerminkan realitas politik masyarakat. Hasil polling tersebut dapat menyesatkan opini publik. Karena hasilnya dipandang tidak merepresentasikan ekspresi mayoritas masyarakat.

Maka, sangat beralasan bila banyak kalangan menilai polling tersebut tidak murni sebagai instrumen jajak pendapat publik, melainkan sebagai instrumen bisnis dan politik. Sebagai instrumen bisnis polling dipandang lahan yang sangatmenjanjikan bagi kalangan media massa. Penggunaan SMS ataupremium call, diyakini memiliki implikasi profit bagi provider telekomunikasi dan para pengelola media massa. Bahkan, ada kecenderungan penayangan hasil polling di media masa cetak turut mendongkrak tiras dan jumlah pembaca.

Secara substansial, kekhawatiran justru berpangkal pada pertanyaan: apakahpolling tersebut telah dijadikan instrumen politik oleh segelintir pihak dengan menggunakan perpanjangan tangan media massa? Kekhawatiran seperti ini pantas mengemuka, karena kecenderungan polling digunakan sebagai alat legitimasi politik untuk partai politik, golongan dan individu seakan telah menjadi rahasia umum. Alih-alih menjadikan polling sebagai saranapenghimpunan pendapat publik, kinipolling“direkayasa” menjadi instrumen politik untuk mengarahkan pendapat dan memobilisasi dukungan publik. Tidak heran bila hasil polling politik disebuah suratkabar lokal justru mengunggulkan kandidattertentu.

Kini kembali kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota untuk menetapkan suatu lembaga yang dapat melakukan jajak pendapat (polling). Dengan memeriksa lebih dalam menyangkut status badan hukum dan track record sebagai lembaga survey; sumber dana yang diperoleh dalam pelaksanaan jajak pendapat; dan metodologi yang dipergunakan. Termasuk metodologi pencuplikan data (sampling), jumlah responden,  tanggal dan tempat pelaksanaan jajak pendapat dilaksanakan. Hal ini semata-mata agar partisipasi masyarakat dalam Pilkada selaras dengan ketentuan: (1) tidak melakukan keberpihakan pada salah satu calon kepala daerah; (2) meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas; dan (3) mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan pemilihan yang aman, damai, tertib, dan lancar (vide Pasal 131 ayat (3) Perppu 1/2014).


Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline