Lihat ke Halaman Asli

HENDRA BUDIMAN

TERVERIFIKASI

Swasta

KPK dan Penetapan Budi Gunawan Sebagai Tersangka

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini adalah kelanjutan dan pengembangan dari tulisan saya sebelumnya yang berjudul Drama Politik Calon Kapolri. Dalam tulisan terdahulu, saya menyatakan ada 7 (tujuh) peristiwa aneh, ganjil dan tak lazim. Pada pokoknya, tujuh peristiwa itu menunjuk pada pelaku yang berada di empat lembaga negara: Kompolnas, lembaga kepresidenan, KPK dan DPR RI, serta ICW diluar lembaga negara. Untuk DPR RI, khususnya Komisi III, saya sudah mengelaborasinya pada tulisan Akrobat Komisi III DPR Atas Pencalonan Budi Gunawan. Tulisan ini akan memperdalam tuduhan saya pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang saya nilai aneh dan tidak sebagaimana mestinya. Kalimat “tidak sebagaimana mestinya”, merujuk pada pengalaman sebelumnya, saat KPK menetapkan seorang pejabat negara sebagai tersangka. Harap dicermati bahwa saya tidak mengatakan KPK salah, saya hanya mengatakan KPK tidak melakukan tindakan sebagaimana mestinya. Sebangun dengan tudingan saya kepada Komisi III DPR dalam proses uji kepatutan dan kalayakan pada Komjen Budi Gunawan. DPR tidak melakukan tindakan sebagaimana mestinya.

Seperti diketahui umum, pada 13 Januari 2015, KPK telah menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka. Sangkaan pada tindak pidana menerima suap atau hadiah (gratifikasi). Menurut keterangan KPK, penyelidikan kasus ini sudah dimulai pada Juli 2014. Harap digarisbawahi, Budi Gunawan dinyatakan sebagai tersangka tidak tertangkap tangan. Sehingga kita tidak dapat membandingkan peristiwa ini dengan peristiwa lain sebelumnya dimana tersangka tertangkap tangan. Keganjilan itu menurut saya ada dua hal: alat bukti, dan penetapan sebagai tersangka.

KPK mengatakan saat menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka sudah terkumpul dua alat bukti yang cukup. Pertanyaannya, apakah dua alat bukti itu? Tanpa bermaksud untuk mengejar lebih jauh perihal alat bukti yang dimaksud. Sebab sejak dari dulu KPK tidak akan mau mengungkap alat bukti kepada umum sebelum digelar persidangan. Namun demikian secara nalar yang dimaksud dengan alat bukti harus cukup jelas dulu.

Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHP yang disebut alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Ditambah dengan rekaman pembicaraan elektronik (penyadapan). Marilah kita lihat satu per satu. Alat bukti berupa keterangan saksi. Sampai saat ini, KPK belum pernah memanggil saksi-saksi dalam perkara yang terkait dengan Budi Gunawan. Pun demikian, fakta persidangan dengan keterangan saksi yang dihadirkan dalam perkara yang berbeda, belum pernah terdengar menyebut nama Budi Gunawan. Karena keterangan saksi bisa diperoleh KPK secara langsung dengan memanggil yang bersangkutan dalam proses penyelidikan atau mengambil fakta persidangan dalam perkara lain. Ambilah contoh, kasus yang terdekat yang menjerat Joko Susilo karena sama-sama sebagai perwira tinggi kepolisian dalam perkara simulator. Tak pernah terdengar nama Budi Gunawan disebut dalam keterangan saksi di persidangan itu.

Bisa kita perbandingan. Anas Urbaningrum diumumkan menjadi tersangka pada 22 Februari 2013. Jauh sebelumnya, nama Anas disebut oleh Nazarudin dalam persidangan 8 Februari 2012. Dari keterangan Nazarudin itulah, Anas sempat membela diri dan mengatakan “Satu rupiah saja Anas korupsi Hambalang, gantung Anas di Monas”. Demikian juga dengan Andi Malaranggeng yang ditetapkan sebagai tersangka pada 3 Desember 2012. Sebelumnya keterangan Nazarudindan Dedi Kusnidar yang dijadikan salah satu keterangan saksi yang bisa menjadi alat bukti. Sama juga dengan Jero Wacik. Keterangan Rudi Rubiandini yang dijadikan dasar. Dalam proses sebelumnya, publik sudah bisa menebak-nebak bahwa Anas Urbaningrum, Andi Malaranggeng atau Jero Wacik bakal terseret dan bisa dijadikan tersangka. Lalu bagaimana dengan Budi Gunawan ? Belum pernah ada keterangan saksi yang bisa dijadikan alat bukti.

Alat bukti yang lain seperti keterangan ahli dan keterangan terdakwa, sama seperti keterangan saksi. Diperoleh dari fakta persidangan dalam perkara yang terkait. Nazarudin sebagai terdakwa, memberi keterangan dengan menyebut beberapa nama. Demikian juga dengan keterangan saksi ahli. Anggap bahwa Joko Susilo, sebagai terdakwa tidak pernah menyebut nama Budi Gunawan dalam persidangan.

Bagaimana dengan surat atau petunjuk? Surat atau petunjuk sebagai dokumen resmi pada dasarnya hanya sebagai bukti permulaan dalam proses penyelidikan. Dokumen resmi itu harus dikonfrontir atau dikonfirmasi kepada saksi-saksi terlebih dahulu, baru kemudian sah menjadi alat bukti. Misalnya, bukti transfer antar bank. Saksi-saksi harus dipanggil untuk memastikan apakah rekening itu miliknya, dan apakah dia mengirim atau menerima transfer. Sebab jika tidak, nanti seperti laporan Faisal Asegaf ke KPK yang mengatakan Jokowi melakukan transfer ke Bank di Hongkong. Pertanyaannya, jika alat bukti berupa surat dan petunjukdijadikan alat bukti, sudahkah saksi-saksi dipanggil untuk dikonfrontir dan dikonfirmasi ? Sejauh ini, belum ada proses pemanggilan saksi-saksi oleh KPK terkait penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka.

Penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka juga ajaib. Bisa kita bandingkan dengan kasus Anas Urbaningrum. Surat perintah penyidikan (Sprindik) untuk Anas terbit pada 7 Februari 2013. Baru tanggal 22 Februari 2013, Anas ditetapkan sebagai tersangka. Sebelum Jero Wacik ditetapkan sebagai tersangka, KPK terlebih dahulu memanggil Jero Wacik dalam kapasitas sebagai saksi atas tersangka Rudi Rubiandini. Jero Wacik dipanggil pertama kali pada 14 Agustus 2013. Baru pada tanggal 5 September 2013, Jero Wacik ditetapkan sebagai tersangka. Andi Malaranggeng memenuhi panggilan KPK sebagai saksi pada 24 Mei 2012. Baru tanggal 3 Desember 2012, KPK menetapkan Andi sabagai tersangka.

Bagaimana dengan Joko Susilo? Joko ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 27 Juli 2012. Bersamaan dengan ditetapkannya Budi Susanto (PT Citra Mandiri Metalindo Abadi), sebagai tersangka. Sebelumnya, Bareskrim Mabes Polri sudah mengeluarkan surat perintah dimulainya penyelidikan (Sprindlid) pada 21 Mei 2012. Dalam proses penyelidikan tersebut, Barekrim telah memeriksa 33 saksi yang diduga terkait kasus tersebut. Oleh karenanya, pada 17 Juli 2012, Bareskrim mengirimkan surat ke KPK perihal dukungan Penyelidikan. Polri mengaku memutuskan untuk memulai penyelidikan kasus tersebut setelah membaca berita pada Majalah Tempo tanggal 29 April 2012, halaman 35-38 yang berjudul “Simsalabim Simulator SIM”. Artinya keterangan 33 saksi yang diperiksa Bareskrim Polri dijadikan dasar KPK menetapkan Joko Susilo sebagai tersangka.

Sementara untuk perkara Budi Gunawan, belum pernah dilakukan pemeriksaan saksi-saksi baik oleh KPK maupun Bareskrim Mabes Polri. Pernah sebelumnya Mabes Polri merespon hasil investigasi Tempo edisi 18/39 Senin (28/6/2010) yang menyebut “rekening gendut”. Dilanjutkan dengan laporan ICW ke Mabes Polri pada tahun 2010. Saat itu, Wakil juru bicara Markas Besar Kepolisian, Brigadir Jenderal Zainuri Lubis sudah membatahnya. “Yang pasti, sumber data ICW itu tidak jelas karena isi datanya pun tidak akurat,” kata dia. Laporan ICW maupun Tempo bukan hanya pada Budi Gunawan tetapi juga pada perwira tinggi kepolisian lainnya, yakni: Irjen Pol Mathius Salempang, Irjen Pol Sylvanus Yulian Wenas, Komjen Pol Susno Duadji, Irjen Pol Bambang Suparno dan Irjen Pol Badrodin Haiti. Atas tuduhan pada tujuh orang itu, hingga sekarang Bareskrim tidak melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Jika benar, peristiwa tindak pindana yang disangkakan kepada Budi Gunawan perihal membuka rekening dan menyetor masing-masing Rp 29 miliar dan Rp 25 miliar, saat dia menjadi Kepala Biro Pembinaan Karier SDM Mabes Polri periode 2004-2006.Mengapa KPK tidak melakukan pemeriksaan saksi-saksi terlebih dahulu. Atau adakah keterangan saksi, saksi ahli dan terdakwa dalam perkara lain yang menyebut nama Budi Gunawan sehingga bisa dijadikan alat bukti. Atau meminta data-data dari Bareskrim yang telah melakukan proses penyelidikan dan penyidikan dengan memeriksa saksi-saksi.

Terlepas dari urusan pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri, penetapan dirinya oleh KPK sebagai tersangka teramat ganjil dan tidak sebagaimana mestinya. Saya sangat mendukung KPK melakukan tindakan pemberantasan korupsi. Apalagi ditujukan kepada aparatus hukum seperti kepolisian yang dikenal sarat dengan suap dan grativikasi. Namun, penetapan Budi Gunawan kali ini sebagai tersangka teramat ganjil.

Saya justru mengusulkan (jika prosedur hukum formil terpenuhi), tersangka Budi Gunawan langsung ditahan. Sebab untuk perkara suap dan gratifikasi, tersangka yang bebas bisa saja melakukan perbuatan menghilangkan barang bukti. Kedua, merujuk pada laporan investigasi Tempo tahun 2010, seharusnya KPK juga berani menetapkan tersangka enam perwira tinggi kepolisian lain. Satu diantaranya Komjen Badrodin Haiti yang saat ini sebagai Pelaksana Tugas Kapolri.

Demikian pendapat saya. Salam Kompasiana.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline