Lihat ke Halaman Asli

HENDRA BUDIMAN

TERVERIFIKASI

Swasta

UU Kepolisan Digugat ke Mahkamah Konstitusi

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga profesor hukum tata negara melayangkan gugatan materi terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI (Polri) dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK), Senin kemarin (26/1/2014). Para pemohon itu adalah Denny Indrayana, Zainal Arifin Mochtar dan Saldi Isra. Salah satu pasal yang diuji materi adalah Pasal 11 Ayat (1) UU No 2 / 2002 yang mengatur pengangkatan dan pemberhentian Kapolri oleh Presiden dilakukan atas persetujuan DPR. Pasal tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Denny mengatakan, dua UU itu bertentangan dengan sistem pemerintahan presidensil seperti diatur UUD 1945, khususnya Pasal 4. Bila MK mengabulkan gugatan uji materi, kata Denny, presiden bisa langsung mengangkat dan memberhentikan Kapolri dan Panglima TNI, tanpa harus minta izin DPR. "Inilah sistem Presidensial zero prerogatif. Suatu, kesalahan sistem yang sangat mendasar. Untuk itu, agar sistem presidensial kita kembali ke khittahnya, maka dengan ini kami mendorong pengajuan konstitusionalitas persetujuan DPR dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri (Panglima TNI) ke Mahkamah Konstitusi," urai dia (sumber).

Sebelumnya, saya meminta maaf bila kali ini saya berbeda pendapat dengan tiga profesor dan ahli hukum tata negara itu. Menurut saya, gugatan uji materi yang diajukan ke MK lemah dan tidak berdasar hukum. Penilaian saya beranjak pada pasal-pasal yang diuji dalam UU Kepolisian dan UU TNI dipertentangkan dengan Pasal 4 UUD 1945. Juga beranjak pada original intent atau suasana kebatinan para perumus (amandemen) UUD 1945. Mendasarkan pada risalah perdebatan dalam sidang umum MPR para perumus materi dan pasal yang dipersengketakan.

Saya memulai dari institusi kepolisian dan TNI. Kedua lembaga ini diperdebatkan oleh para perumus saat mengamendemen Pasal 30UUD 1945. Point utamanya adalah, baik TNI maupun Polri adalah alat negara. Meskipun saat perdebatan itu, Polri ingin ditempatkan sebagai alat pemerintah. Namun pada akhirnya rumusan dalam Pasal 30 disepakati, baik Polri maupun TNI adalah alat negara.

Dalam kaitan itu, seharusnya pemohon (tiga profesor) menautkan perihal TNI dan Polri dengan Pasal 10 UUD 1945 yang berbunyi “ Presiden  memegang  kekuasaan  yang  tertinggi  atas  Angkatan  Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara”. Norma dalam pasal ini menegaskan Presiden sebagai kepala negara. Sedangkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menegaskan Presiden sebagai kepala pemerintahan, bukan sebagai kepala negara. Saat merumuskan Pasal 4 ayat (1) ini, para anggota MPR diantaranya Valina Singka dari Fraksi Utusan Golongan mengatakan bahwa harus dibedakan antara kewenangan Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Sehingga saat itu, dia pernah mengusulkan bunyi Pasal 4 ayat (1) itu “ Presiden RI memegang kekuasaan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.” Hal yang sama dikemukakan oleh Lukman Hakim Saifuddin dari Fraksi PPP.

Mempertentangkan perihal TNI dan Polri dengan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, dimana secara materiil Presiden sebagai kepala pemerintahan sama sekali tidak relevan. TNI dan Polri adalah alat negara, yang masih relevan dengan kekuasan Presiden dalam Pasal 10 UUD 1945. Apalagi Denny menyamakan institusi kementrian yang jelas bagian dari pemerintahan dengan TNI-Polri yang jelas adalah alat negara bukan alat pemerintahan.

Dalam teori trias politica dengan tiga cabang kekuasaan, TNI-Polri yang dinyatakan sebagai alat negara, tidak dapat “dimiliki” secara penuh hanya pada satu cabang kekuasaan yang bernama eksekutif. Seperti halnya dotrin yang tersemat pada prajurit TNI yang menyatakan bahwa mereka bukan alat pemerintah tetapi alat negara. Dengan prinsip adanya keseimbangan antar tiga cabang kekuasaan tersebut, maka pengaturan tentang TNI-Polri (termasuk rekruitmen Panglima TNI dan Kapolri) harus melibatkan setidaknya dua cabang kekuasaan negara: eksekutif dan legislatif. Pun demikian, para perumus undang-undang dan konstitusi berhati-hati dalam memilih kata. Kata “mengangkat” dan “menyetujui” yang digunakan. Baik Presiden dan DPR tidak diberi kewenangan untuk “memilih”.

Kekuasaan Presiden sebagai kepala negara sekalipun tidak mutlak. Hal ini bisa dilihat pada Pasal 11 UUD 1945, kekuasan presiden menyatakan perang, membuat perdamaian, perjanjian dengan negara lain harus ada persetujuan DPR.Juga sama seperti Pasal 13 kekuasaan Presiden mengangkat duta harus memperhatikan pertimbangan DPR. Pasal 14, Presiden sebagai kepala pemerintahan yang punya kuasa memberikan amnesti dan abolisi juga memperhatikan pertimbangan DPR; memberikan grasi dan rehabilitasi memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.

Tentang rekruitmen pejabat negara, Jakob Tobing dan Anthonius Rahail dalam rapat PAH I BP MPR, 7 Desember 1999, sempat mengusulkan pengangkatan Kapolri, Panglima TNI, Hakim Agung, Gubernur Bank Indonesia, Jaksa Agung, anggota BPK perlu mendapat persetujuan DPR. Dengan alasan adanya jaminan kemandirian dan kedudukannya tidak dimanfaatkan oleh pemerintah (baca: eksekutif).

Terkait dengan sistem Presidensiil yang sempat terlontar pada saat itu, salah satu pakar ilmu politik dari UGM Rismawan Imawan menyatakan bahwa yang disebut dengan sistem Presidensiil adalah mekanisme kerja dimana seluruh proses pelaksanaan tugas di bawah kendali Presiden dan karena itu, tanggung jawabnya ada pada Presiden. Sedangkan recruitmentnya yaitu cara mengisi jabatan yang dimaksud bukan menunjuk kepada mekanisme kerjanya. Pendek kata, perihal rekruitmen bukan dimaknai sebagai sistem presidensiil, kecuali konstitusi memberi kewenangan itu. Seperti pengangkatan dan pemberhentian Menteri.

Dengan alasan seperti itulah, pada pembahasan Pasal 30 UUD 1945 sempat ada usulan dari Zain Badjeber (F-PPP), Seto Harianto (F-PDKB), Agun Gunanjar Sudarsa, (F-PG) Fraksi Utusan Golongan, F-PDU, A.M. Luthfi (Fraksi Reformasi) saat Rapat PAH I MPR pada 17 Desember 1999. Usulan untuk menambahkan ayat baru dalam Pasal 30 yang berisi “ Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR” dan ayat baru yang berbunyi Tentara Nasional Indonesia dipimpin oleh seorang kepala staf gabungan TNI yang diangkat dan diberhentikan olehPresiden dengan pertimbangan DPR”. Artinya klausula “ dengan persetujuan DPR” pada pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI sudah akan dieksplisitkan dalam Pasal 30. Namun kemudian MPR menyepakati aturan tersebut dipindahkan saja kedalam undang-undang tidak dalam norma UUD 1945. Karena perdebatan belum putus tentang Panglima TNI atau Kepala Staf gabungan. Dan perumusan frasa “persetujuan DPR” atau “pertimbangan DPR”. Namun, apapun itu pengangkatan dan pemberhentian pimpinan tertinggi Polri dan TNI harus menyertakan DPR. Dengan memperhatikan proses perumusan pasal 30 UUD 1945 telah ada original intent atau suasana kebatinan para perumus saat itu untuk menyepakati bahwa pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI harus ada “persetujuan DPR”.

Secara subyektif Denny Indrayana,Zainal Arifin Mochtar dan Saldi Isratidak terlibat dalam perumusan atau amandeman UUD 1945. Sehingga tafsir yang dikemukakan atas norma konstitusi relatif lemah. Sebaliknya, salah satu hakim MK saat ini yaitu Patrialis Akbar terlibat dalam perumusan yang saat itu mewakili fraksi Reformasi. Sebagai pelaku sejarah, tentu Patrialis lebih paham apa maksud dari norma pasal kontitusi yang dipersengketakan.

Namun, dari semua alasan-alasan yang saya kemukakan diatas, hal yang sangat prinsip dari kesalahan pemohon yakni memilih Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Norma yang menjelaskan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Sedangkan pokok permohonan yang diuji menyangkut Polri dan TNI adalah alat negara yang tidak ada relevansinya dengan Presiden sebagai kepala pemerintahan.

Demikian pendapat saya. Salam Kompasiana.

Sumber tulisan:

Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999–2002 EdisiRevisi. Buku ke IV Kekuasaan Pemerintahan Negara Jilid II,terbitan Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi 2010.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline