Lihat ke Halaman Asli

HENDRA BUDIMAN

TERVERIFIKASI

Swasta

Menggugat Kejaksaan Agung dan KPK

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini merupakan pengembangan dari artikel saya sebelumnya Sekilas Tentang Praperadilan danMengadili Wakil Tuhan. Masih dengan tema yang sama, yakni: Praperadilan. Dalam artikel Sekilas Tentang Praperadilan, saya menjelaskan hal-hal normatif yang bersumber pada KUHAP. Sedangkan artikel Sekilas Tentang Praperadilan, saya menggambarkan bahwa hakim dalam putusannya dalam keluar dari ketentuan hukum normatif itu. Dalam konteks praperadilan, hakim dapat saja membuat troboson hukum baru di luar KUHAP. Pada tulisan ini, saya akan membagi pengalaman dan pengetahuan tentang troboson hukum secara konkrit. Maksudnya konkrit, tulisan ini akan menceritakan pengalaman saya secara nyata. Artinya tulisan ini sifatnya reportase bukan opini.

Sebelum menceritakan intinya, saya akan memberi pengantarnya terlebih dahulu. Pada tanggal 4 November 2010, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membuat troboson hukum baru dengan mengabulkan permohonan praperadilan atas nama Muspani. Mengalahkan Kejaksaan Agung sebagai termohon I dan KPK sebagai termohon II. Perkara yang terkait dengan korupsi APBD Gubernur Bengkulu, Agusrin Najamudin.

Saya terlibat secara tidak langsung dalam perkara ini. Secara langsung yang menjadi kuasa hukum Muspani di praperadilan itu adalah Aizan Dahlan dan Junaidi. Antara saya, Muspani, Junaidi dan Aizan Dahlan pernah satu kantor di Kantor Bantuan Hukum Bengkulu (KBHB). Sejak tahun 2006, kami khususnya Muspani --- yang tahun 2005 terpilih sebagai anggota DPD RI – giat melakukan tekanan kepada Gubernur Bengkulu, Agusrin Nazamudin yang menyelewengkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Peneriman Hak Atas Tanah dan Bangunan di Bengkulu. Akibat perbuatannya, negara merugi Rp 21,3 miliar.

Kasus ini kemudian diperiksa oleh Kejaksaan Agung tahun 2007. Dan kamipun sudah melaporkan perkara ini ke KPK tanggal 4 Desember 2007. Saat itu, kami berharap KPK segera menangani perkara ini. Ternyata, kalah cepat dengan Kejaksaan Agung. Kejaksaan Agung yang menangani perkara ini, dan kemudian Agusrin ditetapkan sebagai tersangka pada Agustus 2008.

Saat itu kami berpikir bahwa perkara ini sudah ditangani oleh penegak hukum, jadi upaya kami melakukan tekanan dan advokasi sudah tidak lagi dibutuhkan. Tunggu punya tunggu, sampai 2 tahun lamanya (2010), kasus ini tidak juga dinaikan ke pengadilan. Agusrin dengan status tersangka masih bebas berkeliaran dan bahkan mencalonkan diri kembali pada Pilkada 2010. Dengan status tersangka dia masih menjabat sebagai Gubernur. Kami mendapat kabar, jika Agusrin “bermain” dengan pihak Kejaksaaan Agung. Pihak lain, Kejaksaan Agung menjadikan Agusrin sebagai “ATM”. Kami sempat menduga Kejaksaan Agung telah menerbitkan Surat Keputusan Penghentian Penyidikan (SKPP) secara diam-diam. Kasus ini seperti disengaja diulur-ulur agar masyarakat lupa, bahwa Agusrin telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Tentu saja tindakan Kejaksaan Agung seperti itu membuat kami kesal. Sudah capek-capek melakukan tekanan dan melaporkan korupsi, setelah ditangani aparat penegak hukum, malah didiamkan.

Dengan terpaksa kami turun kembali pada perkara yang pernah kami ajukan dulu. Kami temui KPK. Dan mendesak KPK untuk mengambilalih perkara ini. Saya lupa apa alasan saat itu KPK mengelaknya. Kalau tidak salah, KPK akan mengambilalih jika ada dasar hukum yang jelas, dan jika Kejaksaan Agung tidak memproses perkara ini.

Terus kami berpikir, bagaimana caranya menggugat Kejaksaan Agung dan mendorong KPK bisa mengambilalih perkara ini. Muspani saat itu menyarankan agar kita menempuh praperadilan saja. Sebagai orang hukum, kami yang berkumpul saat itu tentu berdebat panjang soal ketentuan dalam Pasal 77 KUHAP yang sudah disebutkan secara limitatif. Saat itu Junaidi yang kemudian jadi kuasa hukum juga, menyatakan ada tindakan Kejaksaan Agung melakukan “penghentian penyidikan secara diam-diam”. Saya sempat membatahnya, sebab Pasal 77 KUHAP hanya menyebut “penghentian penyidikan” tidak ada tambahan “diam-diam”. Namun begitu, saya justru melihat dari sisi tersangka (Agusrin). Dengan digantungnya perkara ini selama 2 tahun, hak warganegara dalam konstitusi yang menjamin kepastian hukum dilanggar oleh negara. Bukankah tujuan dari hukum salah satunya adanya kepastian hukum. Singkat kata, Muspani sebagai pihak ketiga mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Seperti yang diberitakan di media massa tahun 2010 (bisa di cari di goggle), hakim tunggal Supraja mengabulkan permohonan gugatan Muspani. Hakim memerintahkan Kejaksaan Agung untuk segera melimpahkan perkara ke pengadilan. Selain itu dalam amar putusannya memerintahkan KPK menggunakan peran supervisinya untuk mengambil alih perkara bila memang Kejaksaan tak kunjung melimpahkan perkara tersebut. Saat itu, dalam pertimbangannya hakim mengatakan ketidakjelasan proses yang berlangsung selama bertahun-tahun mengakibatkan ketidakpastian hukum.

Atas putusan ini Kejaksaan Agung dan KPK mengajukan banding. Sebagaimana yang sudah kita duga, Kejaksaan Agung dan KPK pasti beralasan normatif. Bahwa putusan praperadilan itu keluar dari norma Pasal 77 KUHAP. Dan Kejakasaan membantah telah menghentikan penyidikan secara diam-diam. Sebagai catatan, pada tahun 2011, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mencabut Pasal 83 ayat (2) KUHAPyang mengatur kewenangan penyidik/penuntut umum mengajukan banding atas putusan praperadilan.

Meskipun saya tidak menjadi kuasa hukum dalam praperadilan itu dan sekedar membantu penyusunan berkas praperadilan itu, tapi ada kebanggaan tersendiri. Bahwa kami dapat mendorong hakim membuat yurisprudensi, membuat trobosan hukum baru diluar ketentuan undang-undang. Sampai pengacara kondang, OC Kaligis pernah bilang pada saya “ saya sudah puluhan tahun jadi lawyer. Tapi hal seperti ini tidak pernah terpikir”. Waktu itu saya mengatakan, “bang, ada saatnya kita berpikir keluar kotak”.

Sayangnya pengacara Budi Gunawan, luput membaca catatan sejarah ini. Termasuk para ahli-ahli hukum yang sering tampil di televisi. Berdebat hanya dalam “kotak” KUHAP. Padahal faktanya, kami dapat membuat trobosan keluar dari “kotak”. Tentu saja putusan praperadilan pada perkara ini akan menjadi yurispridensi dimana obyek perkara dapat diperluas tidak sekedar ketentuan dalam Pasal 77 KUHAP.

Tapi ada perbedaan mendasarnya. Pengacara Budi Gunawan sudah kadung terikat pada kepentingan klien sehingga cara pandangnya tidak lagi jernih. Ada tendensi pokoknya kliensnya tidak bersalah. Sementara kami yang saat itu mengajukan praperadilan atas nama pihak ketiga. Tepatnya mewakili masyarakat secara umum melawan Kejaksaan Agung dan KPK. Siapa juga yang mau bayar. Justru sebaliknya harus keluar ongkos bolak-balik Bengkulu Jakarta. Kepentingan kami cuma satu: Koruptor Agusrin harus masuk penjara. Itu saja. Dengan berpikir jernih dan tanpa tendesi, upaya berpikir “keluar kotak” niscaya dapat ditemukan.

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline