Lihat ke Halaman Asli

HENDRA BUDIMAN

TERVERIFIKASI

Swasta

Praperadilan Memeriksa Surat

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang teman mengirim pesan elektronik lewat inbox. Dia bertanya mengapa penetapan tersangka tidak bisa di-praperadilan-kan. Saya tidak bisa menjawab sekedar bilang karena Pasal 77 KUHAP tidak memasukannya sebagai obyek perkara. Karena dia pasti tahu itu. Teman saya ini juga seorang sarjana hukum meskipun pekerjaannya sekarang bukan praktisi hukum. Saya menjawab singkat setengah becanda, “karena tidak ada suratnya”. Dia balas, “kenapa begitu?”. Saya jawab lagi “telaah saja sendiri”.

Jawaban saya itu bagi yang awam membingungkan. Tetapi sebenarnya jawaban itu bisa dengan mudah ditangkap jika memahami praktek sidang praperadilan selama ini. Daripada menjawab dengan kutap-kutip pasal dalam KUHAP. Berangkat dari hal yang normatif. Beranjak dari hal seharusnya. Tidak bisa ditawar-tawar lagi. Hanya penjelasan seperti itu seperti menyuguhkan rumus matematika, “pokoknya begitu titik”. Kalau saya bilang “tidak ada suratnya” memang tidak disebut dalam “rumus” normatif itu. Karena berangkat dari praktek yang senyatanya selama ini.

Selama ini hakim praperadilan hanya memeriksa surat surat dan proses administratif. Memang ganjil kedengarannya. Perkara pidana sekalipun dalam sidang praperadilan, selalu saja pemeriksaanya seperti atau mirip hukum acara perdata. Bertumpu pada sah tidaknya surat. Paling jauh memeriksa prosedur terbitnya surat itu. Apakah prosedur terbitnya surat tersebut sah atau tidak. Jadi sidang praperadilan sesederhana itu saja.

Lihat saja empat obyek perkara praperadilan: penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan semuanya wujudnya surat. Ditambah satu lagi tentang penyitaan, wujudnya juga surat. Dimasukannya obyek perkara penyitaan, karena tindakan penyidik atau penuntut adalah upaya paksa seperti penahanan dan penangkapan atau disebut dwang middelen.

Bagaimana dengan penetapan tersangka? Tidak ada suratnya. Penetapan tersangka diumumkan secara lisan dan tidak ada surat penetapan tersangka yang diterbitkan. Jika tidak ada suratnya, apa yang mau diperiksa dan diputuskan pengadilan.

Banyak yang salah sangka, dikira Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) termuat identitas seseorang yang disebut sebagai tersangka di surat ini. Padahal Sprindik tidak berisi itu. Dalam Sprindik tertera nama-nama penyidik yang mendapat perintah dari atasanya. Untuk melakukan penyidikan atas dugaan terjadinya peristiwa tidak pidana.

Misalnya, Sprindik Nomor 03/01/01/2015 yang dikeluarkan KPK pada 12 Januari 2015. Tidak ada nama Komjen Budi Gunawan di surat itu disebut dengan status tersangka. Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka setelah pimpinan KPK mengumumkannya pada 13 Januari 2015. Pengumumannya lisan. Persis sama seperti Mandra yang diumumkan oleh Kejaksaan Agung sebagai tersangka. Tidak ada suratnya.

Identitas tersangka baru disebut dalam surat perintah penangkapan, surat perintah penahanan, surat perintah penghentian penyidikan, surat ketetapan penghentian penuntutan dan kadang ada dalam surat perintah penyitaan. Atau identitas itu juga tertera dalam surat pemanggilan sebagai saksi atau tersangka. Semuanya berwujud tertulis dalam bentuk surat. Untuk melengkapi surat itu, ada yang namanya Berita Acara. Berita Acara yang ditandatangani oleh tersangka atau yang mewakili. Memeriksa Berita Acara yang juga tertulis itu sebagai tindak lanjut hakim praperadilan memeriksa prosedur. Memeriksa prosedur juga memeriksa barang-barang yang bentuknya tertulis.

Bagaimana mungkin hakim praperadilan mau memeriksa penetapan tersangka, jika tidak ada suratnya. Seperti yang disebut diatas, penetapan seseorang sebagai tersangka dilakukan secara lisan dengan cara diumumkan. Masa kliping koran yang dijadikan bukti. Kliping koran bukan surat.

Urusan surat menyurat di bidang hukum ini memang ketat sekali. Tidak bisa sembarangan menuliskannya. Seperti artikel ini misalnya yang banyak salah typo. Seseorang bisa melakukan perlawanan. Nah, tindakan paksa seperti penangkapan sebagai upaya paksa dilawan lewat praperadilan. Misalnya, identitas tersangka salah alamatnya. Sama seperti surat pemanggilan dari penyidik. Penyidik bisa salah menulis identitas tersangka. Dan dilawan dengan cara tidak hadir. Tidak perlu praperadilan, karena upaya perlawanan bisa dilakukan dengan cara tidak hadir. Misalnya tertulis nama Eko Patrio. Padahal nama aslinya bukan Eko Patrio. Untuk menghidari itu biasanya penyidik menggunakan tambahan nama alias. Contohnya, Hendra Budiman alias Gunawan alias Ibud alias M.Sholeh alias Rangga Sasmita. Karena nama samaran saya memang banyak.

Semoga tulisan ini dibaca juga oleh teman saya yang mengirim pesan di atas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline