Lihat ke Halaman Asli

HENDRA BUDIMAN

TERVERIFIKASI

Swasta

Pengawas KPK, Makhluk Apa itu?

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1423719182779235401

[caption id="attachment_396410" align="aligncenter" width="624" caption="Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. (KOMPAS.com/ICHA RASTIKA)"][/caption]

Beranjak pada peristiwa penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan oleh KPK setelah Presiden mengusulkan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri, Patrice Rio Capella mengusulkan agar ada lembaga pengawas KPK. Sekretaris Jenderal Partai Nasdem itu menilai, pemberantasan korupsi memiliki tujuan mulia, dan itu bukan kesewenang-wenangan. Rio menyatakan KPK adalah lembaga berbahaya jika diletakkan tanpa pengawasan. Apalagi di mata publik, dia tidak mungkin berbuat salah (sumber). KPK memerlukan lembaga pengawas yang independen untuk memantau perilaku komisioner, penyidik, dan pegawai. "Masa lembaga lain bahkan presiden punya lembaga pengawas, KPK tidak ada," ujar Rio (sumber).

Secara pribadi, saya mengenal baik Rio Capella. Pernyataan yang dia sampaikan itu menunjukan sampai sekarang dia tidak pernah mau belajar tentang hukum tata negara. Selalu saja pernyataan yang dia sampaikan penuh tendesi politik. Hal itu lumrah saja sebagai seorang politisi senayan. Tapi sepatutnya para pejabat dan penyelenggara negara harus memahami hukum tata negara khususnya formasi lembaga-lembaga negara.

Sejak reformasi tahun 1998, formasi lembaga negara carut-marut dan semakin tidak jelas. Pelbagai lembaga negara dibentuk dengan fungsi yang tumpang tindih satu sama lain. Tiap sebentar membentuk lembaga negara. Bukan saja memberi beban anggaran negara tapi yang lebih memprihatinkan kejelasan fungsi dan kedudukan dari masing-masing lembaga negara semakin runyam.

Contohnya KPK. Dalam menjalankan fungsinya, sebutan apa yang dapat disematkan pada lembaga satu ini?Karena malas berpikir, sebut saja lembaga negara. Padahal semua badan atau lembaga yang dibiayai oleh negara disebut lembaga negara. Menyebut lembaga negara tanpa memperjelas kedudukannya, orang bisa salah kaprah. Karena sama-sama punya kewenangan penyidikan, KPK disamakan kedudukannya dengan Kepolisian yang sama sebagai lembaga negara. Padahal KPK punya kedudukan yang sama seperti 78 lembaga sejenis dan 15 lembaga di antaranya yang menggunakan kata “Komisi”. Seperti Komisi Kejaksaan atau Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Semuanya bergabung dalam satu kategori Lembaga Nonstruktural.

Hanya dengan menggunakan kata “Komisi”, orang bisa salah kaprah mendudukan setara antara KPK dengan Komisi Yudisial. Padahal Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan konstitusi (UUD 1945), sedangkan KPK dibentuk oleh undang-undang.

Di luar 78 lembaga Nonstruktural ada juga 29 lembaga Nonkementrian. Contohnya Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bila disusun terdiri atas: lembaga tinggi negara, lembaga negara, kementerian negara, lembaga pemerintah nondepartemen dan lembaga nonstruktural. Menjadi pertanyaan, jika ada lembaga pengawas KPK atau lembaga pengawas lembaga nonstrukural, mau ditaruh di mana lembaga itu dalam fungsi dan kedudukannya?

Mungkin ingin disamakan dengan Komisi Yudisial yang melakukan fungsi pengawasan. Dari segi apa pun banyak sekali perbedaannya: (1) Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang dibentuk oleh konstitusi; (2) Komisi Yudisial tidak mengawasi lembaga seperti Mahkamah Agung tetapi mengawasi perilaku hakim; (3) cakupan hakim yang harus diawasi dan lembaga peradilan sedemikian luas di seluruh Indonesia.

Lantas apa tugas pengawas KPK? Mengawasi KPK? Tidak ada dalam formasi lembaga negara di Indonesia, lembaga mengawasi lembaga kecuali DPR yang mengawasi cabang kekuasan eksekutif. Mengawasi perilaku komisioner, penyidik, dan pegawai KPK? Bahkan sekalipun Komisi Yudisial hanya sebatas mengawasi perilaku hakim tidak termasuk panitera dan staff di semua peradilan.

Apa yang dikemukakan Rio Capella sesungguhnya dia tidak memahami fungsi masing-masing lembaga negara dan lembaga tinggi negara. Padahal fungsi itu sudah ada. Instrumen itu telah tersedia. Tinggal didayagunakan saja secara efektif. Komisi III DPR bisa saban waktu melakukan pengawasan terhadap KPK. Melalui rapat dengar pendapat atau mengajukan hak interpelasi. DPR sebagai lembaga tinggi negara mempunyai fungsi pengawasan penuh terhadap cabang kekuasaan eksekutif tidak hanya sebatas pengawasan atas lembaga kepresidenan. Jika Komisi III DPR merasa ada yang janggal atas penetapan tersangka atas Budi Gunawan oleh KPK, bukankah DPR dapat memanggil KPK kapan saja. DPR tidak saja dapat memanggil Pimpinan KPK, memanggil penyidik dan staff KPK saja bisa dilakukan. Bila dalam dengar pendapat itu, ada dugaan tindak pidana atau pelanggaran etik, DPR dapat meneruskannya ke lembaga peradilan. Bila dianggap kurang data dan dibutuhkan penyelidikan, bukankah DPR dapat menggunakan hak angket.

Selain itu, tidak hanya KPK semua lembaga penegak hukum punya badan adhoc yang bernama Komite Etik. Di Kepolisian ada, di Mahkamah Konstitusi pun ada. Badan adhoc ini tidak sekedar melakukan pengawasan tetapi sebagai badan peradilan internal. Bila DPR merasa Komite Etik KPK tidak punya standar baku misalnya dalam merekrut anggota komite etik, DPR dapat melakukan revisi UU KPK dengan memasukkan klausula tegas tentang komite etik KPK.

Bila menilik dari kesalahan dan kesewenang-wenangan, semua penyelenggara negara punya potensi itu. Apalagi mereka manusia bukan malaikat. KPK bisa melakukan kesalahan, demikian juga 78 lembaga Nonstruktural lainnya. Tapi menyelesaikan masalah itu dengan usulan membentuk lembaga pengawas independen, suatu pikiran yang absurd. Sebab bisa saja suatu hari nanti juga perlu dibentuk lembaga pengawas Ombudsman, lembaga pengawas KomnasHam, lembaga pengawas Badan Amil Zakat Nasional atau lembaga pengawas Kompolnas. Apalagi jika dikaitkan dengan sifat lembaga yang disebut independen itu. KPK adalah lembaga yang bersifat independen. Lembaga independen saja punya potensi melakukan kesalahan. Lalu apakah lembaga pengawas KPK yang independen itu juga tidak punya potensi kesalahan. Dengan logika berpikir seperti ini, bisa-bisa nanti dibentuk lagi lembaga pengawas untuk mengawasi lembaga pengawas KPK.

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline