Lihat ke Halaman Asli

HENDRA BUDIMAN

TERVERIFIKASI

Swasta

Sesat Pikir Putusan Praperadilan

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah saya menayangkan tulisan berjudul Putusan Praperadilan Melawan Hukum, beberapa rekan saya ikut membacanya. Rekan sesama alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Dalam group di media sosial yang saya turut di dalamnya, terjadi perdebatan. Tetapi perdebatan itu lambat laun keluar dari konteks bahasan. Ada tendensi mendukung dan menyerang personal. Khususnya pada kuasa hukum Maqdir Ismail sesama alumni. Padahal tulisan saya tidak memberi dukungan atau mendukung personal. Bahkan kalau hendak direduksi lagi, putusan yang dibuat oleh hakim Sarpin Rizaldi, tulisan itu tidak menyerang atau mendukung sesorang yang benama Sarpin Rizaldi secara personal (pribadi). Saya menyerang dan menentang putusannya. Putusan yang memasukan penetapan tersangka sebagai obyek perkara praperadilan.

Dari perdebatan di media sosial itu, ada rekan yang menyatakan bahwa tulisan saya hanya pendapat (legal opinion). Pendapat yang menafsirkan putusan praperadilan itu berdasarkan teori hukum. Namanya pendapat tentu bernilai subyektif. Saya tak pungkiri itu. Namun, pendapat saya juga berangkat dari fakta dan peristiwa yang bernilai obyektif yang memang tidak saya muat dalam tulisan tersebut. Suatu peristiwa hukum sebagai pembanding yang terjadi sebelumnya. Pada tulisan ini, akan saya muat peristiwa itu sebagai pembanding. Ada dua peristiwa yang sama dan terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Peristiwa pertama. Pada tanggal 12 Oktober 2009, hakim Haswandy yang memimpin praperadilan di PN Jakarta Selatan dalam putusannya tidak menerima gugatan Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) terhadap Mabes Polri yang menetapkan status tersangka pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Non Aktif, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto. Dalam putusannya, Haswandy menilai penetapan status tersangka tidak termasuk ranah praperadilan sesuai pasal 77-83 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). "Karenanya, permohonan praperadilan tidak diterima," ujar Haswandy (sumber).

Merujuk pada KUHAP, hakim Haswandy menegaskan bahwa yang dapat dipraperadilankan adalah penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan. Sebaliknya, status tersangka terhadap Bibit dan Chandra secara hukum acara pidana tidak masuk dalam kewenangan praperadilan.

Sebelum ada putusan tersebut, Mabes Polri meminta hakim menolak gugatan praperadilan itu. Alasannya, penetapan status tersangka tak bisa dipraperadilankan. "Berdasarkan pasal 77 KUHAP, praperadilan tidak punya kompetensi untuk menguji penetapan tersangka," kata Kuasa Hukum Mabes Polri Iza Fadli pada 5 Oktober 2009. "Penetapan tersangka itu adalah kewenangan yang dimiliki polri," jelas dia (sumber).

Unsur kesamaan dari putusan praperadilan di atas dengan putusan praperadilan yang dipimpin oleh hakim Sarpin Rizaldi adalah (1) obyek perkara penetapan tersangka dan (2) diperiksa, diadili dan diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pembedanya: pihak tergugat dalam perkara di atas adalah Mabes Polri, sedangakan saat ini adalah KPK. Lalu mengapa ada dua putusan yang kontradiksi (bertentangan). Andai hakim Sarpin merujuk pada putusan praperadilan sebelumnya dan mungkin bisa dijadikan yurisprudensi, mengapa hal itu diabaikan?

Peristiwa kedua. Pada 2012, hakim Suko Harsonomemimpin sidang praperadilan di PN Jakarta Selatan dalam perkara penetapan tersangka Bachtiar Abdul Fatah. Dalam putusan tanggal 27 November 2012, pengadilan mengabulkan permohonan pemohon dengan menyatakan penetapan tersangka Bachtiar Abdul Fatah oleh Kejaksaan Agung tidak sah. Hal ini sudah pernah saya tulis Tersangka Bebas Oleh Putusan Praperadilan.

Singkat cerita, pada 21 Maret 2013, Badan Pengawas MA mengeluarkan Surat Nomor: 316/BP/Eks/03/2013. Pada pokoknya isi surat itu menerangkan bahwa hakim Suko Harsono terbukti melanggar kode etik hakim karena telah melanggar undang-undang dengan memperluas objek praperadilan. Atau masuk dalam katagori kategori unprofessional conduct (tindakan yang tidak profesional) dengan membuat keputusan sah/tidak sahnya penetapan seorang tersangka yang secara limitatif telah diatur dalam KUHAP. Atas pelanggaran ini , hakim Suko Harsono dipindahkan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ke Pengadilan Negeri Ambon. Istilah MA suatu bentuk sanksi demosi.

Pertanyaannya, apakah putusan itu batal demi hukum? Tidak. Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap hanya dapat dibatalkan oleh upaya perlawanan hukum luar biasa yakni Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Kejaksaan Agung tidak menempuh jalur ini. Akan tetapi ada dua indikasi bahwa putusan itu dianggap “batal demi hukum”. Pertama, Kejaksaan Agung tetap melanjutkan proses penyidikan hingga pentuntutan. Kedua, Hakim Tipikor tidak mempertimbangkan putusan praperadilan. Ketiga, MA tidak mengubris surat protes kuasa hukum Bachtiar Abdul Fatah dan keempat, hakim Suko Harsono dijatuhi sanksi demosi.

Dari dua peristiwa di atas, pada pokoknya hakim tidak dapat memperluas objek praperadilan dengan memasukan penetapan tersangka. Pendapat saya ini berangkat dari pendapat hakim Haswandy dan pendapat Mahkamah Agung atas tindakan hakim Suko Harsono. Secara teroritik, hak hakim melakukan penemuan hukum (rechts vinding)hanya dapat dilakukan dalam hukum pidana materiil, bukan terhadap hukum pidana formil.

Dalam putusan praperadilan yang tidak dimuat di media massa, sudah banyak praperadilan yang menolak penetapan tersangka sebagai obyek perkara. Salah satunya, pengalaman rekan saya di Mataram, NTB. Hakim praperadilan tidak menerima gugatan penetapan tersangka. Padahal fakta persidangan menunjukan, Jaksa mengakui bahwa penetapan tersangka hanya berdasarkan 1 (satu) alat bukti. Tetap saja hakim praperadilan tidak menerima gugatan itu. Selanjutnya, keberatan tersebut disampaikan dalam eksepsi di sidang Tipikor. Oleh hakim dibuat putusan sela, dan sidang pemeriksaan tidak dilanjutkan.

Maksud saya, apa yang dibahas dalam tulisan ini dan tulisan saya terdahulu menyangkut kewenangan. Menyangkut kamar masing-masing. Hukum positif telah menyediakan kamar masing-masing dengan kewenangan yang berbeda.

Apa yang dilakukan oleh hakim Sarpin Rizaldi lewat beberapa amar putusannya mengandung kontradiksi. Bertentangan satu sama lain dalam melakukan penilaian atas kewenangan. Lihatlah, saat menyatakan praperadilan berwenang mengadili penetapan tersangka sebagai obyek perkara, hakim memperluas (menambah norma baru) yang sudah terang diatur dalam KUHAP. Sebaliknya saat menyatakan KPK tidak berwenang menetapkan BG sebagai tersangka, hakim mempersempit pengertian “penyelenggara negara” dan “aparat penegak hukum” yang ada dalam UU KPK. Kedua amar putusan ini bicara tentang kewenangan. Untuk kewenangan praperadilan, hakim Sarpin memperluas norma, dan sebaliknya untuk kewenangan KPK, hakim Sarpin mempersempit norma.

Bila menggunakan standard yang sama dan logika yang sama, seharusnya dua obyek kewenangan itupun harus diperlakukan sama. Dengan menggunakan tafsir ekstensif dengan memperluas norma dalam KUHAP tentang praperadilan, seharusnya dilakukan juga tafsir ekstensif dalam memperluas norma dalam UU KPK. Memilih menggunakan metoda tafsir yang menguntungkan pada dua obyek yang berbeda, sama saja dengan sesat pikir (cherrypicking). Hukum tidak lagi punya kepastian dalam standard, tolok ukur dan logika yang digunakan.

Lebih daripada itu, hakim Sarpin mengabaikan putusan-putusan praperadilan sebelumnya dan bahkan melawan pendapat Mahkamah Agung.

Salam Kompasiana.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline