Lihat ke Halaman Asli

HENDRA BUDIMAN

TERVERIFIKASI

Swasta

Putusan Praperadilan Bukan Yurisprudensi

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini adalah Anotasi Hukum saya yang ketiga atas putusan hakim Sarpin Rizaldi yang memimpin sidang praperadilan. Suatu argumen hukum yang memperkuat tulisan terdahulu berjudul Putusan Praperadilan Melawan Hukum. Dengan pokok bahasan amar putusan yang dibacakan hakim Sarpin Rizaldi yang pada pokoknya memasukan penetapan tersangka sebagai obyek perkara praperadilan.

Dalam tulisan sebelumnya, saya menyatakan bahwa amar putusan tersebut bukan dikatagorikan sebagai penemuan hukum (rechtsvinding). Lebih tepatnya disebut hakim menciptakan hukum (judge made law). Atas tindakan tersebut, saya secara tegas mengatakan hakim Sarpin Rizaldi melawan hukum karena telah menciptakan hukum bukan melakukan penemuan hukum. Tulisan ini sekaligus membantah tulisan dan pendapat lain yang menyatakan bahwa hakim Sarpin Rizaldimelakukan penemuan hukum.

Baik penemuan hukum maupun penciptaan hukum merupakan hak hakim dalam membentuk norma hukum baru yang tidak tertera jelas dalam hukum tertulis. Namun demikian hak itu harus diletakan dalam sistem hukum yang berlaku di suatu negara. Penciptaan hukum hanya dikenal pada negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon. Dengan berpegang pada aliran freie rechtslehre, hakim diperbolehkan untuk menciptakan hukum. Andai Sarpin Rizaldi menjadi hakim di persidangan negara Inggris, putusan yang keluar dari kaidah hukum tertulis tersebut dapat dibenarkan dan dibolehkan.

Tetapi Indonesia yang menganut sistem hukum Continental, ketentuan rechtsvinding yang berlaku. Suatu upaya hakim melakukan penemuan hukum berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 20 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesieyang menyatakan bahwa hakim harus mengadili berdasarkan undang-undang. Namun demikian, hakim tetap memiliki kebebasan untuk menafsirkan dan berpendapat. Hakim memiliki keterikatan yang bebas (vrije gebondenheid) dalam melaksanakan tugasnya mengadili suatu perkara.

Penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dan hal pencarian penyelesaian-penyelesaian terhadap sengketa-sengketa konkret. Terkait padanya antara lain diajukan pertanyaan-pertanyaan tentang penjelasan (tafsiran) dan penerapan aturan-aturan hukum, dan pertanyaan-pertanyaan tentang makna dari fakta-fakta yang terhadapnya hukum harus diterapkan. Penemuan hukum berkenaan dengan hal menemukan penyelesaian-penyelesaian dan jawaban-jawaban berdasarkan kaidah-kaidah hukum.

Penemuan hukum dilakukan untuk memberi jawaban atas kelemahan, ketidakjelasan dan ketidakpastian yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan. Secara tidak langsung upaya ini memberi kepastian hukum di dalam masyarakat. Kenyataan menunjukan bahwa adakalanya pembuat undang-undang sengaja atau tidak sengaja menggunakan istilah-istilah atau pengertian pengertian yanga sangat umum sifatnya, sehingga dapat diberi lebih dari satu pengertian atau pemaknaan. Adakalanya istilah, kata, pengertian, kalimat yang digunakan di dalam peraturan perundang-undangan tidak jelas arti atau maknanya, atau tidak dapat diwujudkan lagi dalam kenyataan sebagai akibat adanya perkembangan-perkembangan didalam masyarakat.

Salah satu karakteristik utama dari civil law ialah penggunaan aturan-aturan yang tertulis dan terbukukan (terkodifikasi) sebagai sumber hukumnya. Untuk menerjemahkan aturan-aturan hukum tersebut, kepada peristiwa-peristiwa konkret, maka difungsikanlah seorang hakim. Seorang hakim dituntut menerjemahkan suatu aturan hukum apabila telah terjadi sengketa.

Sebaliknya, penciptaan hukum atau judge made law dalam sistem hukum common law, hakim memiliki peranan di dalam membentuk suatu norma hukum yang mengikat yang didasarkan pada kasus-kasus konkrit. Bila pada penemuan hukum, hakim dituntut melakukan tafsir atas norma hukum tertulis, sedangkan penciptaan hukum, hakim bersandar pada kasus konkrit yang ditautkan dengan sistem precedent. Putusan hakim terdahulu dapat dijadikan rujukan.

Penemuan hukum secara operasional dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan penafsiran, yang menggunakan asas-asas logika. Dengan bersandar pada prinsip-prinsip: (1) objektivitas, dimana penafsiran berdasarkan arti secara literal dan berdasarkan hakekat dari aturan hukum tersebut; (2) kesatuan, dimana setiap norma harus dibaca dengan teks lain secara tidak terpisah. Menjadi satu kesatuan yang menyeluruh; (3) penafsiran genetis, dimana keberadaan teks asli harus dijadikan pertimbangan; dan (4) perbandingan, dengan membandingkan suatu teks hukum dengan teks hukum lainnya.

Putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan berdasarkan penemuan hukum pada gilirannya menjadi salah satu sumber hukum, apa yang disebut dengan yurispridensi. Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum formal selain undang-undang, kebiasaan, dan traktat. Putusan hakim menjadi yuriprudensisetelah melalui proses eksaminasi dan notasi Mahkamah Agung dengan rekomendasi sebagai putusan yang telah memenuhi standar hukum yurisprudensi. Putusan terebut akan diseleksi oleh tim khusus dan apabila dianggap layak untuk menjadi yurisprudensi maka akan dipublikasikan oleh Mahkamah Agung. Judul atau nama dari publikasi tersebut disesuaikan dengan tahun terbitannya misalnya Yurisprudensi Mahkamah Agung Tahun 2006.

Syarat Yurisprudensi adalah (1) putusan atas peristiwa hukum yang belum jelas peraturannya; (2) putusan telah berkekuatan hukum tetap; (3)Putusan berulang kali dijadikan dasar hukum untuk memutus perkara sama; dan (4)Putusan telah dibenarkan oleh Mahkamah Agung.

Contoh penemuan hukum dan yurispridensi adalah perkara tindak pidana pencurian mayat. Oleh hakim, terdakwa dikenakan delik pencurian sebagaimana Pasal 362 KUHP. Hakim melakukan tafsir ekstensif atas kata “barang” yang termasuk didalamnya “mayat”. Pada teks tertulis tidak jelas kualifikasi “barang” dalam pasal tersebut, apakah barang bergerak atau tidak bergerak. Hakim kemudian menggali nilai-nilai di masyarakat, bahwa pencurian mayat adalah bentuk tindak kejahatan. Hakim tidak dapat menolak perkara dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas. Sebagaimana kualifikasi “barang” dalam pasal 362 KUHP. Bila mengikuti pengertian “barang” dalam Pasal 499 KUH Perdata, mayat manusia tidak dapat dikatagorikan objek hak milik. Putusan pengadilan ini kemudian diikuti dan menjadi yurispridensi dalam mengadili perkara Sumanto di Purbalingga. Dan menjadi kepastian hukum, bila ada kasus serupa dikemudian hari termasuk jika ada pencurian mayat oleh pihak yang bukan ahli waris dari kamar jenazah di rumah sakit.

Lalu bagaimana dengan putusan hakim Sarpin Rizaldi yang memasukan penetapan tersangka sebagai obyek perkara praperadilan? Menggunakan prinsip-prinsip dan metoda penemuan hukum, pertimbangan hakim tidak menyebut frasa, kata, kalimat mana dalam KUHAP yang dianggap tidak jelas, kabur dan menjadi dasar dilakukan tafsir. Jika dianggap kabur dan tidak jelas, pembacaan obyek perkara praperadilan tidak saja terdapat pada Pasal 77 KUHAP, tetapi menjadi satu kesatuan utuh dan sistematis dengan pasal-pasal lain (Pasal 1 angka 10, Pasal 82 dan Pasal 95 KUHAP).

Alasan kedua, hampir semua persidangan praperadilan yang pernah memeriksa perkara penetapan tersangka tidak diterima oleh pengadilan. Diantaranya putusan praperadilan PN Jakarta Selatan tanggal 12 Oktober 2009. Karena rumusan dalam KUHAP sudah jelas dan pasti.

Alasan ketiga, Putusan praperadilan PN Jakarta Selatan tanggal 27 November 2012, yang memasukan obyek perkara penetapan tersangka, mendapat teguran dari Mahkamah Agung. Akibatnya hakim Suko Harsono mendapat sanksi demosi. Putusan ini tidak bisa disebut yurisprudensi dan dijadikan salah satu sumber hukum, karena tidak disetujui oleh Mahkamah Agung. Sebaliknya putusan tersebut dianggap melanggar ketentuan dalam KUHAP. Putusan tersebut lebih tepat disebut presedent. Sementara presedent hanya dikenal dalam sistem hukum Anglo-Saxon.

Kesimpulannya, putusan praperadilan a quo tidak dapat dikatagorikan sebagai penemuan hukum dan tidak dapat disebut yurisprudensi.

Oleh karena itu, sidang praperadilan lain dikemudian hari yang memerika perkara yang sama (penetapan tersangka) tidak dapat menggunakan putusan praperadilan PN Jakarta Selatan 17 Januari 2015 sebagai yurisprudensi.

Salam Kompasiana.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline