Lihat ke Halaman Asli

HENDRA BUDIMAN

TERVERIFIKASI

Swasta

Pendapat Hakim Agung atas Putusan Praperadilan

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Putusan praperadilan perkara Budi Gunawan bukanlah satu-satunya putusan “kontroversial”. Menimbulkan polemik dan perdebatan banyak kalangan yang pro dan kontra. Semua pihak memberi komentar, penilaian dan pendapatnya. Tetapi pada akhirnya penilaian dan putusan akhir berada di tangan hakim agung di Mahkamah Agung (MA). Tulisan berikut merupakan laporan dari cuplikan pendapat hakim agung atas pelbagai putusan pengadilan khususnya putusan praperadilan. Pendapat hakim agung yang tertuang dalam putusan kasasi, peninjauan kembali, surat Mahkamah Agung dan pendapat dari mantan hakim agung. Beberapa kasasi telah menjadi yurisprudensi.

Sengaja saya mengutip pendapat hakim agung tersebut dengan pertimbangan: pertama, pada akhirnya segala putusan pengadilan (khususnya perkara pidana) akan berakhir di tingkat Mahkamah Agung. Oleh karena itu menjadi penting untuk melihat dan memahami bagaimana pendapat hakim agung atas perkara-perkara serupa yang pernah terjadi sebelumnya; kedua, dalam tulisan saya sebelumnya, banyak mengutip ketentuan perundang-undangan atau KUHAP, untuk memperluas khasanah maka pendapat hakim agung baik berupa yurispridensi dan doktrin ilmu hukum dapat menjadi pembanding; ketiga, dalam mengulas suatu peristiwa hukum seyogyanya mengutip pendapat ahli hukum yang kompeten. Dalam konteks putusan praperadilan (pidana) yang dibacakan oleh hakim Sarpin, pendapat hakim agung menjadi relevan sebagai pendapat ahli yang kompeten. Sebagaimana dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, maka pendapat ahli hukum tatanegara dan konstitusi menjadi relevan untuk mengulas peristiwa hukum tersebut; keempat, hal yang mesti dicatat bahwa kedudukan hakim dan hakim agung tidaklah setara dalam mengadili, memeriksa dan memutus perkara. Hakim di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi memeriksa fakta dan bukti-bukti perkara. Oleh karena itu disebut judex factie (hakim-hakim yang memeriksa fakta). Sedangkan kedudukan hakim agung hanya memeriksa interpretasi, konstruksi dan penerapan hukum terhadap fakta yang sudah ditentukan oleh judex facti. Karena ini, hakimagung disebut judex juris (hakim-hakim yang memeriksahukum).

Bukan obyek perkara praperadilan

Yurisprudensi ini bersumber dari putusan kasasi MA No. 1828 K/Pid/1989 tanggal 5 Juli 1990. Pada pokoknya putusan kasasi yang membatalkan putusan praperadilanPengadilan Negeri Jakarta Utara: No. 02/Pra-Per/Pen.pid/1988/PN.JU, tanggal 10 Oktober 1998. Putusan kasasi ini mempertegas ketentuan dalam KUHAP yang menyatakan bahwa obyek praperadilan tidak termasuk masalah penyitaan. Sebelumnya judex factie praperadilan menerima atau memasukan penyitaan kapal oleh Kepolisian sebagai obyek perkara praperadilan. Putusan kasasi tersebut merupakan upaya untuk meluruskan hukum semata yang berguna sebagai yurisprudensi. Bahwa penyitaan barang bukan merupakan obyek praperadilan sebagaimana diatir dalam Pasal 77 KUHAP yang secara limitatif  telah menentukan masalah apa saja yang dapat menjadi obyek dari praperadilan.

Salah penerapkan hukum

Ada dua yurisprudensi. Tapi keduanya bukan mengenai praperadilan tetapi lebih luas mencakup kesalah judex facti dalammenerapkan hukum.Pertama, yurisprudensi yang berasal dari putusan kasasi No. 879 K/Pid/1996, tanggal 31 Januari 2000 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Sragen No. 35/Pid/R/1996/PN. Srg, tanggal 25 April 1999. Dalam penilaian MA, judex facti telah melanggar KUHAP karena melakukan pemeriksaan menurut acara pemeriksaan Tipiring (tindak pidana ringan) sebagaimana Pasal 205 ayat (1) KUHAP terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana Pasal 3093 bis KUH Pidana.

Kedua, yurisprudensi MA No. 22 K/Mil/1992. Membatalkan putusan Mahkamah Militer Tinggi yang salah menerapkan hukum. Tidak cukup mempertimbangkan (onvoldoede gemotiveerd) tentang pidana yg dijatuhkan.

Peninjauan Kembali

Yurisprudensi MA Nomor 264 K/Pid/1999, tanggal 23 Juni 1999. Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur No. 340/Pid/1998/PT.Sby,  tanggal 7 Januari 1999 yang menerima banding atas putusan praperadilan Pengadilan Negeri Surabaya N07/Pid.Prap/1998/PN. Sby, tanggal 5 Desember 1998. Pada pokoknya yurisprudensi ini menyatakan bahwa putusan praperadilan tidak dapat dilakukan upaya banding ke pengadilan tinggi. Meskipun demikian upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan kembali (PK) masih dimungkinkan diajukan.

Penahanan dan penangkapan tidak sah

Yurispridensi No. 1156 K/Pid/2000, tanggal 11 Oktober 2000 yang membatalkan putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 07/Pid/Prap/2000/PN. Jak. Sel, tanggal 23 Juni 2000. Pada pokoknya menyatakan bahwa sah dan tidaknya penangkapan dan penahanan terhadap tersangka berlaku  tindakan hukum penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh Penyidik Indonesia, bukan penangkapan dan penahanan atas perintah dan olah Polisi Federal Australia dimana tersangka saat itu berada di Australia dan proses ekstradisi sedang berlangsung.

Pembuktian Praperadilan

Putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 18 PK/PID/2009 tanggal 23 Juli 2009 yang membatalkan putusan praperadilan PN Bandung No. 04/PID/PRA/2008/PN.BDG. tanggal 26 September 2008. MA menilai judex factipraperadilan salah dalam pemeriksaan perkara dan proses pembuktian dengan masuk ke substansi pokok perkara.Hakim praperadilan telah melanggar ketentuan proses pembuktian di dalam sidang praperadilan. Pembuktian dalam sidang praperadilan adalah pembuktian administratif. Pada prinsipnya pembuktian administratif memfokuskan mengenai tata cara prosedur dalam melakukan tindakan penahanan atau penangkapan, penghentian penyidikan atau penuntutan oleh Penyidik atau penuntut umum. Bahwa pemeriksaan praperadilan bukan memeriksa pada pokok perkara tetapi pada pembuktian administratif.

Surat Badan Pengawas MA

Surat bernomor 316/BP/Eks/03/2013 tanggal 21 Maret 2013. Pada pokoknya isi surat itu menerangkan bahwa hakim Suko Harsono terbukti melanggar kode etik hakim karena telah melanggar KUHAP dengan memperluas objek praperadilan. Atau masuk dalam kategori unprofessional conduct (tindakan yang tidak profesional) dengan membuat keputusan sah/tidak sahnya penetapan seorang tersangka yang secara limitatif telah diatur dalam KUHAP. Sebelumnya pada 27 November 2012, PNJakarta Selatan yang dipimpin oleh hakim Suko Harsono membuat putusan No.: 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel yang memasukan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan.

Pendapat (mantan) hakim agung dan hakim konstitusi

Atas putusan praperadilan yang dibacakan oleh hakim Sarpin Rizaldi, beberapa mantan hakim agung memberikan komentar dan pendapatnya:

Mantan Ketua MA Dr. Harifin Tumpa

Saya kira kita menghormati putusan hakim tapi dari segi hukum banyak menimbulkan pertanyaaan, aneh. Hakim berpendapat karena penetapan tersangka tidak diatur maka bisa dijadikan objek, tidak boleh seperti itu.Hakim sudah memperluas kewenangan praperadilan. Dia menyatakan, karena (penetapan tersangka) tidak diatur dalam KUHAP, maka hakim boleh memasukkannya. Itu tidak benar

Mantan Ketua Muda MA bidang Pidana Khusus Dr. Djoko Sarwoko

Hakimnya tersesat! Ngawur. Hakim terbawa arus, harusnya menolak.

Djoko mengaku sewaktu menjabat hakim agung pernah menganulir putusan praperadilan. Ia menilai putusan praperadilan yang pernah dianulirnya saat masih menjabat di Mahkamah Agung, menyimpang dari aturan yang ada.

Mantan hakim agung Prof Dr Komariah Emong Sapardjaja

Putusan Sarpin bukan penemuan hukum tapi unprofessional conduct alias bodoh atau kemasukan angin. Sarpin telah menelikung UU.

Hakim Agung kamar pidana Dr. Syarifuddin

Menjadi kebijakan MA dalam rapat pleno kamar pidana yang dilakukan di Karawaci Tangerang dan rapat pleno kamar pidana di Mega Mendung Bogor untuk menyatakan tidak dapat diterima permohonan PK atas putusan praperadilan. Hal itu terdapat pengecualian yaitu hanya diperkenankan dalam hal terjadi penyelundupan hukum yaitu praperadilan yang melampaui kewenangannya sesuai pasal 77 KUHAP.

Hakim agung Dr. Syarifuddin menambahkan bahwa MA pernah membuat putusan PK yang membatalkan putusan praperadilan lewat putusanNomor 87 PK/Pid.B/2013, dimana praperadilan melampaui kewenangan yang secara limitatif sudah disebut dalam Pasal 77 KUHAP.

Salam Kompasiana.

Catatan : isi laporan dicuplik dari pelbagai sumber diantaranya majalah hukum Varia Peradilan, portal resmi Mahkamah Agung dan berita dari pelbagai media massa online.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline