Lihat ke Halaman Asli

HENDRA BUDIMAN

TERVERIFIKASI

Swasta

DPRD Tidak Punya Hak Budgeting

Diperbarui: 4 April 2017   16:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tidak tahu darimana asal usul munculnya istilah hak budgeting yang disematkan pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Secara sinonim digunakan istilah hak budget dan hak anggaran. Seperti yang diucapkan oleh Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Mohamad Taufik. “… Itu jelas pelanggaran hukum karena kami punya hakbudgeting," kata Taufik (sumber). Suatu pernyataan sesat. Sejak kapan DPRD punya hak budgeting?. Bukan hanya Taufik dan bukan kali ini saja, istilah itu dipergunakan. Beberapa kali saya menemukan penggunaan istilah yang sesat itu di media massa dan ucapan yang saya dengar langsung sejak beberapa tahun silam. Saya katakan sesat, sebab implikasi dari penggunaan istilah hak budgeting pada DPRD tidaklah sederhana dan berpotensi merusak tatananketatanegaraan.

Dalam ketentuan perundang-undangan hak budgeting yang melekat pada DPRD itu tidak ada. Lalu siapa yang menciptakan istilah yang sesat itu?. Baik konstitusi (UUD 1945), UU MD3 maupun UU Pemda atau secara khusus UU DKI Jakarta, tidak menyebutkannya. Hak yang melekat pada DPRD hanya tiga: hak angket, interpelasi dan menyatakan pendapat. Bisa jadi digunakannya istilah itu dikaitkan dengan tiga fungsi DPRD: legislasi, anggaran dan pengawasan. Meskipun demikian tiga hak DPRD tersebut bukanlah hak konstitusional. Jika ada pihak yang mengatakan bahwa hak angket (misalnya) adalah hak konstitusional DPRD adalah pernyataan yang ngawur. Tidak ada satu pasal dan ayat pun dalam UUD 1945 memberikan hak-hak itu kepada DPRD. Hak-hak itu diberikan berdasarkan undang-undang bukan diberikan oleh konstitusi.

Impilkasi yang saya sebut diatas akan merusak tatanan ketatanegaraan karena disematkannya frasa “hak” budgeting pada DPRD. Namanya hak tidak bisa dilimpahkan atau didelegasikan kepada pihak lain. Hak itu adalah milik, kekuasaan yang melekat pada dirinya. Padahal turunan dari fungsi anggaran DPRD menjelma menjadi satu wewenang dan tugas DPRD untuk memberikan persetujuan APBD yang diajukan oleh kepala daerah. Dan melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan APBD. Ringkasnya, dalam konteks APBD, DPRD hanya punya wewenang memberikan persetujuan (atau menolak) dan mengawasi pelaksanaannya. Tidak lebih dan tidak kurang.

Dalam hal kewenangan memberi persetujuan (atau menolak) pada usulan APBD yang diajukan oleh kepala daerah sifatnya rasionalitas politis bukan teknokratis. Hal ini dinyatakan oleh pendapat Mahkamah Konstitusi (MK) lewat putusan MK Nomor 35/PUU-XI/2013. Persetujuan DPR/DPRD terhadap APBN/ APBD tidak mencakup pada pembahasan hingga unit organisasi, fungsi dan program atau satuan tiga. Jadi, DPR/DPRD memfokuskan pada strategi anggaran negara/daerah yang sesuai dengan kebutuhan rakyat, bukan pada teknis angka-angka anggaran.

Pertimbangan MK dalam menjalankan fungsi anggaran dalam hal persetujuan dan pembahasan itu untuk memperjelas kedudukan antara cabang kekuasan eksekutif dan legislatif dalam konteks pembagian kekuasaan. Bila DPRD terlampau ikutcampur dan masuk terlampau dalam hingga sampai satuan tiga, akan berakibat DPRD menjadi otorisator sekaligus inisiator. Baik dalam perencanaan maupun penganggaran. Adanya duplikasi posisi tersebut jelas tidak sehat dan tidak akuntabel dipandang dari perspektif asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dan untuk menghindari penggunaan wewenang atau mentransaksikan pengaruh DPRD pada hal-hal bersifat mikroteknis atau mikropraktis. Sebab, kondisi demikian akan menyebabkan DPRD berkutat pada perhitungan transaksi politis atau angka-angka anggaran dengan motivasi diluar kepentingan umum yang seharusnya dilindungi dan di luar rasionalitas dokumen perencanaan pembangunan yang ditetapkan sebelumnya.

Implikasi penggunaan istilah “hak budgeting pada DPRD tercermin pada kasus yang belakangan terjadi pada DPRD DKI Jakarta. Dimana DPRD merasa punya hak untuk memberi usulan memasukan “dana siluman”. Merasa punya hak untuk membuat perencanaan alokasi anggaran baru atas nama kepentingan umum.Dan merasa punya hak untuk mengirimkan berkas APBD ke Kemendagri versi DPRD (sumber).

Tindakan tersebut secara terang benderang bertentangan dengan undang-undang. DPRD dalam konteks RAPBD hanya sebatas memberi persetujuan atau penolakan. DPRD tidak punya hak dan wewenang untuk membuat usulan baru bahkan hingga sampai tingkat satuan tiga (pengadaan UPS di kelurahan, contohnya). Ketentuan Pasal 137 ayat (1) UU MD3 tentang batasan wewenang dan tugas DPRD, tidak ada hak bagi DPRD memberi usulan sekecil apapun atas APBD yang diajukan oleh Kepala Daerah.

Pandangan seperti ini muncul dari anggapan bahwa DPRD = DPR. Sama-sama perwakilan partai politik yang dipilih langsung oleh rakyat. Pada titik ini benar, mekanisme pemilihan (Pemilu) dilakukan serupa. Tetapi kedudukan DPR dan DPRD tidaklah sama dalam berhubungan dengan cabang kekuasaan eksekutif. DPR dalam konstitusi jelas disebut sebagai lembaga negara cabang kekuasaan legislatif. Sedangkan DPRD adalah bagian dari unsur pemerintahan daerah sebagaimana disebut dalam Pasal 18 UUD 1945. Kedudukan ini kembali ditegaskan dalam UU MD3 pasal 315 dan pasal 364 “ DPRD provinsi merupakan lembaga perwakilan rakyatdaerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah provinsi.

Oleh karena itu pembacaan atas fungsi-fungsi DPRD tidaklah sama seperti DPR. Termasuk istilah “lembaga legislatif” yang diatributkan baik kepada DPR maupun DPRD. Penyebutan ini berkaitan dengan model pembagian kekuasaan antara kekuasan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Menyangkut relasi antara Presiden (kekuasan eksekutif) dengan DPR (keuasaan legislatif). Lalu dipersamakan relasi tersebut antara Gubernur/Bupati/Walikota sebagai kepala pemerintah daerah dengan DPRD. Padahal atribut “lembaga legislatif” yang ditujukan kepada DPR tidak sama dengan yang ditujukan kepada DPRD.

Kekuasan legislatif atau pembuat kebijakan (pembentuk peraturan perundang-undangan) pada lembaga bernama DPR memegang kekuasan mutlak sebagaimana tertera dalam norma UUD 1945. DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang (vide pasal 20 ayat (1) UUD 1945). Meskipun demikian Presiden berhak juga mengusulkan rancangan undang-undang, sebagai bagian dari hak inisiatif pemerintah (vide pasal 5 ayat (1) UUD 1945). Tetapi persetujuan dan pengesahan tetap berada pada kekuasan DPR sebagai lembaga legislatif.

Sedangkan kewenangan untuk menetapkan Peraturan Daerah (Perda), baik daerah propinsi maupun kabupaten/kota, tetap berada di tangan Gubernur dan Bupati/Walikota dengan persetujuan DPRD. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Gubernur dan Bupati/Walikota tetap merupakan pemegang kekuasaan eksekutif dan sekaligus legislatif, meskipun pelaksanaan fungsi legislatif itu harus dilakukan dengan persetujuan DPRD yang merupakan lembaga pengontrol terhadap kekuasaan pemerintahan di daerah. Kekuasaan legislatif tidak sepenuhnya berada di tangan DPRD sebagaimana kekuasaan absoulut yang dimiliki oleh DPR. Sehingga DPRD tidak sepenuhnya dapat disebut sebagai lembaga legislatif, tepatnya disebut sebagai quasi legislatif.

Sebagaimana pasal 18 ayat (3) UUD 1945, kedudukan DPRD adalah bagian dari unsur penyelenggaraan pemerintah daerah. Dengan demikian posisi antara kepala daerah dan DPRD tidaklah saling berhadapan. Berada pada dua kutub yang saling berlawanan. Karena kedua lembaga publik ini merupakan bagian dari pemerintahan daerah. Dengan kata lain DPRD adalah mitra kerja kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Sehingga penerapan pembagian atau pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif seperti Presiden dan DPRD tidak sepenuhnya berlaku dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.

Lalu apa relevansinya dengan “hak budgeting” dan APBD?. Harus diketahui bahwa APBD dalam bentuk usulan yang diajukan oleh kepala daerah ke DPRD berwujud rencana keuangan daerah berupa rancangan peraturan daerah (Perda). Sebagaimana RABPN yang berwujud RUU APBN. Sementara rancangan Perda adalah hak kepala daerah untuk menyusun dan mengajukannya. DPRD sebatas memberi persetujuan saja. Hak ini tidak bisa dilimpahkan, dimana DPRD juga punya hak menyusun dan mengajukan Perda APBD. Bila demikian pada dasarnya yang punya “hak budgeting” dalam batasan menyusun, mengajukan dan melaksanakan adalah kepala daerah bukan DPRD.

Mensikapi perseteruan antara DPRD DKI Jakarta dengan Gubernur Basuki Tjahja Purnama, hal yang menjadi rancu ketika digunakannya istilah “hak budgeting pada DPRD. Kerancuan itu makin bertambah sesat ketika istilah “hak budgetingtadi diwujudkan dalam pelbagai tindakan anggota DPRD (Ahok menyebutnya oknum) yang jelas melanggar ketentuan perundang-undangan. Tindakan itu berupa : (1) memberi usulan alokasi anggaran dalam APBD hingga satuan tiga; (2) mengubah RAPBD yang diusulkan semula; dan (3) mengajukan APBD versi DPRD ke Kemendagri.

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline