Lihat ke Halaman Asli

Mengikuti Nilai Historis Kacamata

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13264823791701512197

[caption id="attachment_163625" align="aligncenter" width="600" caption="Pak Trisno "sedia beragam kacamata""][/caption] “Bakul barang lawas, koleksi tahun berapa saja ada” kata – kata itu yang selalu di suarakan saat barang dagangannya di lirik orang – orang penggemar barang antik. Dengan suara yang masih lantang seumuran Mbah Trisno. Siang itu, di sudut pasar tradisional Beringharjo tak beda jauh dengan suasana pasar lain. Hiruk pikuk dan teriakan para pedagang menawarkan barang dagangannya. Mbah Trisno yang mengenakan kaus biru berkerah dan celana panjang kain melangkah menuju kotak berukuran 1x2m tempat menggelar barang antiknya. Ketika disampaikan mau wawancara seputar koleksi barang antik, mbah Trisno langsung bergegas antusias bercerita tentang jenis kacamata seakan lupa dengan pedagang sekelilingnya. “Mau cari kacamata tahun berapa saja ? saya ada le”, kata mbah Trisno seraya menunjukkan beberapa koleksinya. Semua barang yang di tawarkan semuanya berbau antik jaman Belanda. Koleksinya seperti koin kemerdekaan Indonesia, batu giok, radio ‘cawang’, jam tangan, dan yang paling banyak ratusan jenis kacamata. Harga yang begitu terjangkau namun oleh kalangan muda tidak di lirik. “Cari kacamata jaman Pak Karno atau Pak Harto ?”, seakan koleksi mbah Trisno lengkap sekali. Kacamata yang memiliki nilai historis yang tinggi di kemas apik di selipkan di salah satu kotak gerobaknya, tidak di sembarang di keluarkan bila benar – benar ada kolektor yang memburunya. Membongkar kotak pribadi kemudian menunjukan kacamata milik salah satu tokoh di kraton jogja di percaya mbah Trisno memiliki nilai lebih didalam kaca yang dibingkai besi putih indah. Lelaki kelahiran Yogyakarta, 31 Desember ini merupakan pedangan barang antik yang terlama di pasar tradisional Beringharjo. “Biyen ngarepan kui isih alas le”(Dulu depan itu masih hutan Nak) ucap kakek yang berjualan 71 tahun silam itu. Suara tembang jawa sayup sayup merdu keluar dari kotak ajaib seakan membawa pada suasana muda mbah Trisno. “Seingat saya, selain kolektor lokal yang memburu kacamata antik saya juga ada yang dari Belanda dan Jepang, sampai di foto dan di rekam bule – bule” mbah Trisno mengenang melihatkan senyum tipis bibirnya. Ikut menjadi pelaku sejarah dalam masa kemerdekaan walau hanya dengan mengikuti jenis kacamata yang dipakai oleh para tokoh terdahulu menjadi hal paling mengesankan dan membanggakan diri bagi Trisno Wiyadi. Dia pun tak jemu – jemu menceritakan kepada anak cucunya, terutama nilai – nilai leluhur jawa. Meski usia mbah Trisno yang sangat lanjut, tetap energik dan semangatnya tak pernah surut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline