Lihat ke Halaman Asli

Evaluasi Kepemiluan: Pilkada di Era Covid-19

Diperbarui: 24 Juni 2021   10:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam era demokrasi, kompetisi dalam pemilu menjadi hal yang urgen untuk dilaksanakan, sebab dari rahim kompetisi semacam inilah yang akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang dipilih secara langsung sesuai kehendak rakyat. Pun dengan situasi saat ini, di tengah wabah pandemi Covid-19, proses demokrasi ini tidak boleh dikesampingkan, karena bisa jadi ia menjadi kunci dalam proses berkesinambungan terhadap kepemimpinan di daerah. Maksudnya, kontestasi di era ini berpeluang menjadi katalisator akan kemunculan inovasi-inovasi dalam penanganan Covid-19. Sebab, pertarungan pemilihan kepala daerah seperti gubernur, bupati dan walikota, yang nantinya memiliki kewenangan yang lebih powerful akan memancing para kontestan untuk berlomba-lomba menarik simpati masyarakat lewat terobosan-terobosan baru yang relevan dengan kondisi saat ini, misalnya dalam kesehatan, kebersihan dan lain sebagainya sebagai respons atas situasi sekarang.

Benar bahwa usulan di muka bukan tidak memiliki resiko sama sekali. Dalam konteks kebencanaan, kita perlu sepakat bahwa pandemi Covid-19 adalah bencana luar biasa. Ini bukan seperti bencana asap, banjir atau longsor yang kita bisa cari sumber masalahnya. Jika kita menyepakati hal ini, pandemi harus diletakkan dalam kerangka tanggungjawab kita bersama.

Dalam situasi force major, kita harus memastikan pemenuhan tanggungjawab tersebut mulai dari puncak kepemimpinan tertinggi yakni Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sampai rakyat biasa punya tanggung jawab yang sama. Secara kolektif warga harus melakukan swa proteksi, sementara pemerintah harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan warga. Artinya, ini pekerjaan kolektif yang tidak bisa dibereskan oleh satu elemen. Lebih lanjut, pada konteks politik seperti pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) bukanlah satu-satunya pihak yang memiliki tanggung jawab tunggal di dalam penyelenggaraan pemilu saat pandemi, akan tetapi seluruh elemen masyarakat mempunyai kewajiban yang sama.

Isu: Sebuah Manifesto di tengah Pandemi

Jauh sebelum pandemi hadir, kontestasi politik di pemilu serentak tahun 2020 diyakini akan menjadi kompetisi politik yang sangat menarik. Setidaknya ada 2 hal yang menjadikan pemilu 2020 kali ini menarik. Pertama, di pemilukada 2020 merupakan pemilu pertama sejak berakhirnya pilpres di tahun 2019 dan pasca bergabungnya oposisi ke dalam pemerintahan. Ini akan menjadi menarik untuk mengukur apakah dengan meleburnya rivalitas di tingkat elit akan berpengaruh di tingkat grass roots. Kedua, pemilukada tahun 2020 diyakini akan menghadirkan calon-calon muda pemimpin  daerah. Tapi apa daya, di tengah harapan menyaksikan suguhan yang menarik tadi, pandemi covid-19 datang yang mengingatkan kita pada pepatah "Langit tak selamanya cerah, kadang hujan pun bisa membawa bencana dan perasaan juga sering kali bisa terluka".

Dampak pandemi bukan hanya berimbas pada sektor ekonomi, tetapi juga kelangsungan demokrasi. Komposisi tahapan pemilu 2020 akhirnya diubah dari kesepakatan awal maret 2020 menjadi 9 Desember 2020. Isu baru akhirnya hadir muncul ke permukaan. Isu-isu yang hadir menjadi gambaran nyata masyarakat di masa pandemi. Jika salah mengeja, bencana akan terbaca bejana, atau kencana. Dua kata benda yang belum tentu ada hubungannya. Namun, jika bisa menjadi satu rangkaian kata cerita jika ada narasi. Begitu pun dengan isu yang muncul, jika partai politik dan calon kepala daerah salah dalam membaca kondisi masyarakat maka kualitas pemilukada ditengah pandemi akan menjadi taruhan.

Jika isu-isu politik saat kondisi normal di Indonesia selalu dihadirkan pada isu-isu yang normatif seperti: Money politics, politisasi birokrat daerah, sara, dan hoaks. Masing-masing akan saling berkaitan dalam situasi politik pragmatis. Maka kali ini, pandemi menjadi disleksia bencana yang menghadirkan isu-isu baru. Disleksia bencana dalam konteks pemilu melahirkan isu, pertama, bagaimana melindungi kesehatan versus menjaga demokrasi, kedua, partisipasi politik, ketiga menguatnya calon tunggal dan keempat malpraktik pemilu.

Tarik ulur jadwal pemilukada serentak tahun 2020 menggeliatkan, isu tentang melindungi kesehatan versus menjaga demokrasi, politik versus kesehatan. Perdebatan ini menguap ke pelataran publik, yang akhir-akhir ini diskusinya sudah melebar dan tidak lagi memuat argumen-argumen yang proper. Sebab, bagi penulis, keduanya (kesehatan dan politik) justru saling berhubungan, politik, sejak kata ini didefinisikan oleh Socrates hingga Voltaire, dari Nelson Mandela sampai Soekarno, juga adalah proyek menyelamatkan nyawa manusia. Walaupun, relasi ini, di lapangan bukannya tanpa masalah, yang akan dijelaskan di poin kedua dan setererusnya.

Kedua, partisipasi politik, konsekuensi lainnya di tengah pandemi adalah keterbatasan hubungan secara konvensional. Dengan tantangan tersebut, setiap calon harus menjalankan strategi yang revolusioner untuk menarik minat masyarakat untuk hadir pada 9 Desember 2020 mendatang. Ketiga, menguatnya calon tunggal di daerah, fenomena calon tunggal di masa pandemi menjadi isu yang menguat. Ini tidak bisa dilepaskan dari intervensi kekuasaan oligarki politik untuk mengambil kesempatan di masa pandemi menjadi sebuah peluang dalam pengelolaan daerah.

Keempat, Potensi malpraktik, isu ini menguat pada pemilukada 2020 dan menjadi perhatian tersendiri, mengingat tahap verifikasi syarat dukungan calon perseorangan juga tidak sedikit. Belum lagi kesensitifan verifikasi untuk menentukan apakah kontestan tersebut lolos atau gagal untuk maju ke pilkada. Problem lain yang bisa menimbulkan malpraktik pada pemilukada 2020 ialah pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih.

Persoalan ini menjadi salah satu isu krusial dalam sejarah pemilu di Indonesia karena basis data pemilih selalu berbeda dan tidak sama, sehingga sering menimbulkan perselisihan antara penyelenggara dengan peserta pemilu (termasuk pilkada). Salah satu tingkat kesulitan dalam pemilukada mendatang ialah apabila pandemi tidak usai, bagaimana dengan pemilih yang merantau atau tinggal di luar wilayah provinsi dan/atau kabupaten yang menyelenggarakan pemilukada.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline