Dapatkah orang hitam mengubah warna kulitnya, atau harimau menghilangkan belangnya? Tentu tidak! Begitu juga kamu yang terbiasa berbuat jahat, tidak akan mungkin berbuat baik.
Isu utama dalam dinamika politik yang berhembus santer dan menjadi efek bola salju kini merujuk pada nama Joko Widodo (Jokowi), sang presiden RI, yang pada saat ini berkuasa. Kehadirannya membawa bumbu tak sedap bagi kemunculan dua putra kandungnya.
Pertama, Gibran Rakabuming Raka, namanya langsung moncer dan akhirnya didaulat secara resmi untuk diusung menjadi pasangan Prabowo Subianto untuk maju mendampinginya sebagai cawapres (calon wakil presiden). Kedua, Kaesang Pangarep, yang baru beberapa hari mendaftar menjadi anggota Partai Solidaritas Indonesia (PSI), tetiba diangkat menjadi ketua umum.
Ada kosakata baru yang cukup menarik untuk disimak terkait peristiwa ini. Pemberitaan media menyebutnya dengan "Politik Dinasti". Nah, apakah pengertian itu sama dengan "Dinasti Politik"?
Kalau dalam tata bahasa Indonesia, kedua istilah yang dipakai itu dikenal dengan "Hukum D-M atau M-D". Diterangkan-Menerangkan atau sebaliknya, Menerangkan-Diterangkan.
Tentu saja bolak-balik kata itu punya term, pengertian yang berbeda. Sehingga jika ada penulis atau jurnalis yang salah menuliskannya, walaupun maksud penjabarannya betul, maka pondasi cara berpikirnya menjadi rapuh.
Secara teori dalam ilmu politik, tentu ada pengertian yang dimaksud. Kalau rujukan nama pakar berbeda, pengkalimatannya juga bisa berbeda. Namun demikian, ada beberapa poin yang memiliki kemiripan.
Politik Dinasti
Secara sederhana kalau Politik Dinasti itu merupakan proses terjadinya peralihan atau regenerasi kekuasaan, yang dalam arti sempit ruang lingkupnya ada pada keluarga secara turun-temurun. Meskipun dalam alam demokrasi, hal itu berlangsung wajar melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat.