Lha di Sorga, Gusti Allah tak bertanya: 'Agamamu apa di dunia?' Tapi Ia bertanya: 'Di dunia kamu berbuat apa?'
'Tatkala saya haus apa kowe kasih minum?' Segantang air menyegarkan jiwa musafir
'Tatkala saya lapar apa kowe kasih makan?' Sesuap nasi mengenyangkan jiwa musafir yang lapar dan dahaga mengarungi jagad raya
Bukan dendam kesumat kita kembang-biakkan tapi kasih sayang melambari tiap tindakan
(Linus Suryadi dalam Pengakuan Pariyem)
April dan Mei. Dua bulan ini, perayaan hari besar keagamaan saling berurutan datangnya. Bahkan waktunya bisa saling berdekatan.
Pertengahan April lalu, ada Pekan Paskah dan disusul Kenaikan Yesus Kristus di bulan Mei, bagi umat Kristiani. Lalu ada Idul Fitri bagi umat Islam di awal Mei. Dan di pertengahan bulan yang sama ini, ada Trisuci Waisak 2566 BE.
Potret keberagamaan dalam keberagaman masyarakat Indonesia yang majemuk, sesungguhnya disadari umat beriman sebagai sebuah karunia yang indah. Beberapa media ketika momen Idul Fitri bahkan banyak mengisahkan keindahan ini dalam liputan atau pemberitaan utamanya (baca: Kerukunan, Potret Indah Kebersamaan di Hari Lebaran).
Sayang, potret yang indah tadi sedikit tercoreng oleh kejadian yang ada di NTB. Pasalnya, malam takbiran digegerkan dengan kasus SARA yang menimpa umat Buddha. Ada peristiwa "persekusi dan bakar-bakar" bangunan. Kasus ini tentu saja "diredam" untuk mendinginkan suasana. Biar damai kembali antara kedua belah pihak yang bertikai.