Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran di Gedung MPR/DPR RI di Senayan, Jakarta pada hari Senin (11/4/2022). Aksi ini dilakukan sebagai bentuk penolakan wacana tiga periode masa jabatan Presiden dan wacana penundaan Pemilu 2022.
Kalimat di atas merupakan intisari dari berita utama yang terjadi kemarin. Namun, di luar topik utama ini, ada pernak-pernik kisah lain yang juga menjadi isu utama yang tak kalah gaungnya.
Pertama, soal Ade Armando, dosen FISIP Universitas Indonesia yang juga menjadi pegiat sosial. Ia babak belur menjadi korban pengeroyokan, walaupun berada di pihak yang sama dengan para pendemo.
Tentu saja ini hal yang aneh dan tidak logis. Baik secara kronologi peristiwa dan para pelakunya. Maka dugaan adanya para penyusup yang mendomplengi aksi mahasiswa bisa jadi benar adanya. Namun tentu saja kebenaran akan hal ini butuh proses identifikasi lebih lanjut oleh pihak yang berwajib.
Kedua, yang sama-sama menjadi "viral" adalah beredarnya foto-foto mahasiswi yang yang memegang poster. Sebenarnya ini juga hal yang wajar. Namun, menjadi viral lantaran isinya yang yang menyerempet pada isu "sensitif" (pornoaksi). Sehingga pembaca tidak lagi melihat esensi aksi besarnya, namun pada isi tulisan yang dimaksud.
Hal yang patut disayangkan adalah tulisan pada poster yang dianggap tidak mencerminkan mahasiswa sebagai orang yang terpelajar, terdidik (pendidikan tinggi). Jadi terkesan murahan dengan bahasa yang dipergunakannya.
Membaca Literasi Seksualitas dalam Demo Mahasiswa
Benar memang, tiap generasi punya pemikiran zamannya sendiri. Kisah "perseteruan cara pandang" lintas generasi "zaman old" versus "zaman now" kerapkali memang tidak sambung dalam penalaran dan logika.
Salah benar bisa menjadi bias di benak masing-masing. Tergantung pada isi otak yang menyampaikan dan yang menerima informasi tadi. Mengolahnya dalam logika dan mengapresiasinya sebagai sesuatu yang bernalar baik atau buruk.
Dari sudut kebahasaan, tulisan yang dibuat oleh adek-adek mahasiswa/i ini sebenarnya bisa saja dipandang dari segi makna denotasi atau konotasi (denotatif atau konotatif). Menampilkan kesesuaian apa adanya atau hanya sekadar kiasan belaka (bukan realita sesungguhnya.