Undang Undang (UU) No 19/2016 jo UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ditengarai menjadi celah munculnya pasal karet yang bisa menjerat siapa saja.
Beragam studi menyebutkan, ada 9 pasal bermasalah di UU ITE tersebut. Salah satu pasal yang menjadi momok itu adalah adalah ketentuan Pasal 27 ayat (3) yang mengatur tentang "penghinaan dan pencemaran nama baik". Ancaman hukuman adalah penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak Rp 750 juta.
Bunyi lengkapnya demikian. "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."
Unsur dari "muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik" ini bisa menjadi bumerang pada orang yang tidak paham betul seluk beluk dunia maya. Misalnya, bagi orang yang sedang mempublikasikan sebuah kejadian. Awalnya, secara sederhana ia hanya berharap mendapatkan bantuan jawaban. Berharap agar ia mendapatkan titik terang atas kasus yang dialaminya. Ia hanya bercerita, membeberkan duduk perkara semata.
Namun, pada kenyataannya, bagi pihak lain yang dituding atau mendapatkan komplain, bertindak sebaliknya. Ia akan merasa bentuk 'komplain' orang tadi sebagai fitnah, tuduhan tak beralasan (bohong), sehingga nama baiknya tercoreng.
Atas dasar inilah, tak jarang kemudian, seseorang yang sebelumnya bertindak sebagai "korban" mengalami kembali hal yang sama. Ia terjatuh pada "pengulangan" alias reviktimisasi (asal dari kata victimize yang berarti menjadi korban).
Sementara itu, di sisi pelaku alias penyebab, mereka berganti perannya sebagai pihak yang 'tersakiti', korban berita media sosial. Perilaku "playing victim" ini adalah sebuah upaya yang biasanya dilakukan untuk menghindari tanggung jawab karena sudah melakukan kesalahan. Menimpakan kembali kesalahan kepada si korban.
Hukum yang Berkeadilan
Awal September (1/9/2021), warganet terasa begitu geram sehubungan dengan tersiarnya kabar buruk dari salah satu pegawai KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) Pusat. Ia menceritakan kasus pelecehan seksual dan perundungan yang menimpanya, hingga akhirnya mengalami PTSD (post traumatic stress disorder).
Kejadian ini sudah terjadi lama semenjak ia bekerja tahun 2011 dan puncaknya di 2015. Pernah ia melaporkan kasus ini ke polres namun tidak mendapat tanggapan. Barulah setelah surat surat terbuka yang ditujukan ke Presiden Joko Widodo ini menjadi viral, ada aksi tanggap yang cukup manjur. Baik di kepolisian (menerima aduan) ataupun KPI Pusat (membebastugaskan para pegwai yang diduga terlibat) sudah memberikan responnya.