Sekolah semestinya menjadi masa indah buat anak. Sebab pada saat itu ia selain belajar secara akademik (ilmu pengetahuan), juga belajar berinteraksi dan bersosialisasi. Mengadaptasi diri pada lingkungan pergaulan sosial yang lebih luas dari sekadar keluarga.
Namun, ada kalanya pada individu tertentu, sekolah menjadi riwayat pengalaman buruk. Bukan lagi sebagai tempat dan lingkungan yang menyenangkan. Bisa belajar dan bermain bersama dengan teman seusia (sebaya). Tetapi menjadi kisah traumatis.
Buruknya penanganan masalah perundungan (bullying) pada anak sekolah dasar (SD), salah satunya dialami oleh peserta ajang lomba masak, Putri Uti (18 tahun).
Konon karena sedang membela teman perempuannya, ia jadi sasaran berikutnya. Ketakutannya ternyata tidak direspon baik oleh sang guru. Bahkan menyuruhnya diam, tidak menceritakannya pada orang tuanya.
Namun orang tua Putri cukup tanggap melihat perubahan yang dialaminya secara tiba-tiba itu. Alhasil Putri hanya cukup sekolah formal di kelas 3 SD. Hari-harinya kemudian diisi dengan belajar memasak dan kini mengelola toko roti.
Kisah ini menjadi viral. Dalam tayangan video akun pribadinya, beberapa kali Putri tak sanggup menahan air mata saat menceritakan kejadian buruk yang menimpanya. Ia berharap agar peristiwa ini bisa jadi pelajaran. Jangan ada lagi kejadian seperti ini menimpa siapapun.
Perundungan di Sekitar Kita
Hari ini, 23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional. Hal ini mengacu pada pengesahan UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Anak, tentu secara hukum dan sosial perlu mendapat perlindungan. Itu sudah wajar dan sepantasnya. Tetapi kasus perundungan jika melihat data sebagaimana ditulis KOMPAS cukup memiriskan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, setidaknya ada 37.381 laporan perundungan dalam kurun waktu 2011 hingga 2019. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2.473 kasus disinyalir terjadi di dunia pendidikan.