Surat Mandat Beujung Prahara di Negeri Kitiran
Geger di Negeri Kitiran belum usai.
Negeri Kitiran adalah sebuah kerajaan besar dan digdaya pada masa itu. Sang Raja begitu dicintai rakyatnya. Pesona dan kharisma kepemimpinannya luar biasa.
Enam purnama berlalu. Raja Negeri Kitiran masih belum bisa melupakan tragedi yang hampir merenggut nyawa dan kekuasaannya.
Ia masih ingat betul peristiwa yang terjadi pada malam hari di wulan kasembilan. Tujuh punggawa dan dua prajurit terbaiknya tewas terbunuh. Masih simpang siur siapa dalang di balik itu semua.
Padahal Raja tidak pernah punya niatan untuk memusuhi siapa saja yang tinggal di negeri yang dipimpinnya. Ia tidak mau ditekan untuk memihak salah satu. Ia justru berkeinginan merangkul setiap kelompok yang ada di negerinya.
Jadi, iapun merasa heran atas kejadian yang sepertinya tiba-tiba saja terjadi. Tak terdapat kabar burung yang bisa ia percaya. Desas-desus yang ia anggap angin lalu.
Tapi rupanya intrik yang terjadi begitu rapi dan kencang berhembus. Semua ada di luar kendalinya. Kepiawaiannya seakan sudah menurun, tak lagi segemilang saat ia sanggup memerdekakan negeri yang gemah ripah loh jinawi ini.
***
Kala itu sudah memasuki pekan kedua di wulan katiga pada tahun ke-20 pemerintahan Sang Raja. Ia merasa ada yang salah ketika menuliskan sebuah surat mandat yang ditujukan kepada Menteri Utama. Punggawa kerajaan yang posisinya memang sentral saat kejadian percobaan kudeta terjadi. Tidak ada pilihan lain bagi Raja untuk memberikan amanat itu selain dia.
Kepada Menteri Utama, diberikannya kuasa untuk melakukan tindakan pengamanan atas keselamatan diri dan keluarganya, selama Sang Raja melakukan pengungsian. Menyelamatkan diri demi menjaga kewibawaan negeri. Sebab ialah simbol utama dari kebesaran dan kejayaan negeri. Tanpa dia, entah apa yang tejadi pada rakyat. Ia tidak mau membiarkan rakyat kehilangan pamor dan kepercayaan.