Datangnya pandemi, menorehkan banyak cerita kesedihan. Salah satunya, dari yang semula biasa berkumpul bersama, kini aktivitas itu menjadi kian terbatas. Protokol kesehatan mewajibkan untuk jaga jarak aman.
Pada akhirnya, belajar, bekerja, beribadah, beralih dan/atau dialihkan ke rumah. Satu dua hari, jelas masih tahan. Seminggu dua minggu, masih sanggup menjalani. Dua tiga bulan mulai ada rasa bosan. Menuju setahun, ada dua kemungkinan terjadi. Sudah mulai terbiasa atau mengalami titik jenuh.
Kondisi terakhir inilah yang akhirnya menjadikan orang jadi abai dan enggan pada protokol kesehatan yang telah diterapkan. Semua menjadi kembali seperti biasa. New normal pada keadaan sama seperti sebelumnya. Seolah tak ada apa-apa. Virus yang memang tak kasat mata itu, bagi sebagian orang, dianggap cuma berita yang dibesar-besarkan. Kematian akibat virus korona, dianggap hanya sebagai angin lalu.
Ya, begitulah... Sikap sebagian masyarakat yang ogah sadar dan apatis, masa bodoh. "Waktunya mati ya mati. Repot amat dengan virus."
Enak sekali cara berpikirnya. Padahal pada sisi lain, tim medis, petugas kesehatan, dan para relawan terus berjuang mati-matian. Biar jangan ada korban lagi. "Keselamatan menjadi pokok prioritas yang utama."
Tugas Bersama Orang Beriman
Beriman dengan aman. Aman dengan beriman. Dua hal yang sama-sama penting dan saling terkait menunjang.
Beriman tapi menyepelekan (kesehatan dan keselamatan) diri sendiri, imbasnya tentu pada orang lain. Terlebih lagi pada keluarga terdekat.
#######
Pada internal dan mungkin sama bagi yang lain, bagi umat Kristiani di Indonesia, beribadah dari rumah, tentu bukan pilihan yang baik (enak). Tapi karena situasi dan kondisi yang memaksa, tentu itu menjadi pilihan yang jauh lebih baik.