Lihat ke Halaman Asli

hendra setiawan

TERVERIFIKASI

Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Stop Istilah "Mayoritas-Minoritas"

Diperbarui: 21 Desember 2016   17:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: https://pixabay.com/id/skala-keseimbangan-simbol-keadilan-36417/

Perihal jumlah adalah sebuah kewajaran. Ada yang banyak, ada yang sedikit. Tetapi jika dalam suhu perpolitikan (cukup di sini saja karena memang di situ tempatnya; misalnya jumlah kursi dalam parlemen), dan kebangsaan, jika lantas mengaitkannya dengan mengatasnamakan agama, hal ini menjadi sangat membahayakan. Ini seperti virus ganas dalam kehidupan seseorang. Tubuhnya bisa menjadi rapuh dan cepat untuk mati.

Ada sebuah istilah yang agak ekstrem mengenai "diktator (dominasi) mayoritas" dan "tirani minoritas". Pengertian sederhananya adalah pihak yang merasa dirinya kuat (dari segi kuantitas) merasa berhak untuk mengalahkan mereka yang jumlahnya sedikit. Minoritas seakan wajib tunduk dan pasrah atas kondisi demikian.

Dikotomi “mayoritas” dan “minoritas” menjadi sangat berbahaya jika dilekatkan dengan konteks kemajemukan NKRI, bahkan ketika nama Indonesia sendiri belum ada menjadi sebuah bangsa. Apalagi jika ada pejabat negara atau tokoh masyarakat/agama yang dengan bangga, tapi dengan gaya santun mengatakan:

Mayoritas Melindungi Minoritas; 

Minoritas Menghormati Mayoritas"

Pernyataan itu bertentangan dengan prinsip dasar konstitusi kita. UUD 1945 tidak pernah membuat dikotomi mayoritas-minoritas. Bahwa setiap agama dan kepercayaan apapun yang hidup di bumi Nusantara, sama-sama memiliki status hukum yang sama. Tidak dijumpai pengategorian mayoritas-minoritas. Setiap penganut keyakinan apapun (asal legal/sah) memiliki hak dan kewajiban yang setara di mata hukum. Oleh karenanya, tugas untuk melindungi setiap warga negara menjadi kewajiban Negara yang bersifat prinsipal.

Maka, berhentilah menggunakan klaim “mayoritas” dan “minoritas” dalam term keagamaan. Sebab pada dasarnya hal itu sama sekali tidak ada. Juga jangan pernah mau mengamini dan menerimanya, seakan hal itu adalah sebuah kewajaran dalam demokrasi kebangsaan.

Perjuangan dan kemerdekaan bangsa ini tidak pernah sekalipun memakai dasar keagamaan. Ketika persepsi ini dibangun, maka yang terjadi adalah “diskriminasi”, ketidakpantasan, moral etis dalam hubungan antarsesama. Agama tidak pernah mengajarkan permusuhan, kebencian dan penindasan atas sesama umat ciptaan-Nya.

(warna-warni informasi)

-end-




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline